STATUS HUKUM DAN PROBLEMATIKA
NIKAH SIRI DI INDONESIA[1]
Oleh
I. PENDAHULUAN
Akad nikah atau
ikatan perkawinan tidak dapat disamakan dengan sebuah ikatan perikatan dalam
hukum perdata. Akad nikah merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita yang menyatakan sebagai suami isteri dan bertujuan untuk
membentuk sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah diridlai oleh Allah
subhanahu wa ta`ala. Ikatan lahir bathin berarti bahwa hubungan pertalian erat
antara suami isteri tersebut tidak hanya dari aspek fisik lahiriyah semata akan
tetapi juga adanya ikatan emosional bathiniyyah.
Ikatan perkawinan tidak
hanya untuk menghalalkan hubungan biologis (sex) semata, atau tidak hanya untuk
mendapatkan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu yaitu untuk membina
keluarga yang bahagia penuh cinta kasih, menentramkan jiwa dan berakhir dengan
diperolehnya kebahagiaan lahir bathin. Kebahagiaan sebagai wujud manifestasi
dari kesejahteraan lahir bathin warga negara merupakan salah satu tujuan
Indonesia merdeka dan oleh karena itu Negara berkepentingan untuk melindungi
kepentingan warga negaranya, kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan serta diikuti dengan berbagai peraturan tekhnis di bawahnya.
Perkawinan
merupakan syari`at Islam. Rasulullah saw sangat menganjurkan umatnya untuk
melangsungkan perkawinan bahkan orang yang tidak senang dengan perkawinan
dianggap bukan umatnya. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya aku puasa,
berbuka, shalat, tidur dan menikahi wanita. Barang siapa membenci (tidak
melaksanakan) nikah berarti ia bukan umatku”.[3]
Hadits ini jelas bahwa Islam mensyari`atkan adanya perkawinan sebagai sebuah
ibadah. Peraturan perkawinan secara detail dalam ajaran Islam diatur lebih
lanjut dalam fiqh munakahat dengan berbagai varian mazhab hukumnya.
Meskipun negara
telah mengatur regulasi tentang perkawinan untuk melindungi hak-hak sipil warga
negaranya, nampaknya nikah siri masih menjadi alternatif pilihan sebagian
masyarakat. Nikah siri ini merupakan nikah problematik. Realitas menunjukkan
bahwa nikah siri ini masih banyak dan sering terjadi di masyarakat Indonesia. Berbagai
alasan dikemukakan oleh para pelaku nikah siri ini.
Tulisan ini
bermaksud untuk mengkaji lebih jauh tentang status hukum nikah siri tersebut dan untuk
mengurai problematika yang mengiringinya.
II. PEMBAHASAN
A. Hakekat Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa berarti al jam`u yang
artinya menghimpun dan al dzam yang berarti mengumpulkan.[4]
Sebutan lain perkawinan adalah at-tazwij
yang terambil dari kata zawwaja yuzawwiju - tazwijan (arab) yang secara
harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan
memperisteri.[5]
Terdapat beberapa
definisi perkawinan menurut istilah, di antaranya adalah
Artinya: Akad
yang menjamin bolehnya bersetubuh dengan lafadz inkah atau tazwij atau
terjemahnya.
Artinya:
Akad yang terkenal dan mengandung beberapa rukun dan syarat.
Di dalam hukum perkawinan
dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin, antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga,
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan perkawinan sebagai suatu akad yang
sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) untuk mentaati perintah Allah
SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.[9]
Dari beberapa definisi tersebut,
penulis lebih memilih definisi yang tertuang dalam undang-undang perkawinan.
Dasar hukum disyariatkannya perkawinan adalah ayat-ayat al Quran dan
beberapa hadits Nabi saw. Firman Allah swt dalam Al Quran surat an Nisa` ayat 3
yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(
hak-hak) perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku
adil maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah yang lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. [10]
Firman Allah swt dalam surat an Nur ayat 32 yang
artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya)”. [11]
Rasulullah
saw. bersabda:
عن
ابن مسعود رضي الله تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يامعشر
الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع
فعليه بالصوم فانه له وجاء. (رواه الجماعة). [12]
Artinya: Dari ibnu mas’ud ra.
berkata; Rasulullah saw bersabda’’ Wahai para kaum muda barang siapa di antara
kamu telah mampu akan beban nikah maka hendaklah dia menikah, karena
sesungguhnya menikah itu lebih dapat memejamkan pandangan mata dan lebih dapat
menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu (menikah) maka hendaklah
dia rajin puasa karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan nafsu baginya.
(HR. Al jama’ah)
Rasulullah
saw. bersabda:
وعن قتادة عن الحسن عن سمرة: ان النبي
صلى الله عليه وسلم نهى عن التبتل, وقرأقتادة: ولقد ارسلنا رسلا من قبلك وجعلنا
لهم ازواجا وذرية. (الرعد: ٣٨) (وابن ماجه) [13].
Artinya: Dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah; Sesungguhnya Nabi saw
melarang membujang, selanjutnya Qatadah membaca ayat . Dan sesungguhnya kami
telah mengutus beberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan kepada mereka
beberapa istri dan anak cucu. (HR. ibnu majah)
Para
fuqaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari perkawinan menurut
pendapat yang terbanyak dari fuqaha imam Syafi’i hukum nikah adalah mubah,
menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali hukum nikah adalah sunnah, sedangkan
menurut madzhab Dhahiri dan Ibnu Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali
seumur hidup.[14] Adapun
hukum melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi seseorang serta
niat dan akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di antara para ulama’,
bahwa hukum melaksanakan perkawinan ada lima
macam yaitu:
a. Jaiz (boleh), ini asal hukumnya.
b. Sunat, bagi orang yang berkehendak serta cukup nafkah
sandang, pangan, dan lain-lain.
c. Wajib, bagi orang yang cukup sandang, pangan dan dikhawatirkan terjerumus ke
dalam lembah perzinaan.
d.
Makruh, bagi orang yang tidak
mampu memberi nafkah.
Nilai asasi yang ingin diraih
dari perkawinan adalah ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang. Bila ketenangan
dan ketentraman mewarnai suasana rumah tangga, maka ia akan menghasilkan manusia
unggulan dan terjamin mutu.[16] Hal ini senada dengan firman Allah
swt surat Ar-Rum ayat 21 yaitu:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepada-Nya, dan dijadikannya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).[17]
Berdasarkan ayat tersebut, menurut penulis
terdapat lima nilai fundamental dalam perkawinan yaitu suami isteri merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan (min anfusikum) atau dalam bahasa
jawanya sak awak, ketenangan jiwa (litaskunu ilaiha), cinta kasih
(mawaddah) yang lebih berorientasi pada pemenuhan nafsu biologis, kasih
sayang (rahmah) yang lebih berorientasi pada sifat-sifat kemanusiaan
sampai akhir hayatnya, dan arti pentingnya berfikir (yatafakkarun)
secara realistis dalam menghadapi problematika kehidupan berumah tangga tidak
mengedepankan emosional.
Terdapat banyak fungsi dan tujuan dari perkawinan,
di antaranya adalah:
1. Menyalurkan naluri
seksual secara sah dan benar.
2. Cara paling baik
untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah.
3. Menyalurkan naluri
kebapakan atau keibuan.
4. Memupuk rasa tanggung
jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi
yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan isteri yang selama ini
dipikul masing-masing pihak.[18]
Perkawinan yang berkualitas merupakan
harapan para pihak yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan
perkawinan tersebut. Suatu perkawinan dianggap berkualitas apabila nilai asasi
atau nilai fundamental dalam perkawinan dapat terwujud dalam kehidupan berumah
tangga.
B. Pengertian Nikah Siri
Terminologi nikah siri tidak
ditemukan di dalam hukum perkawinan maupun dalam fiqh munakahat klasik. Untuk
mengetahui pengertian nikah siri ini maka dapat ditelusuri dari pengertian etimologis
kata nikah dan kata siri. Kata nikah dapat diidentikkan dengan perkawinan atau
pernikahan. Oleh karena itu pengertian kata nikah ini identik dengan pengertian
perkawinan atau pernikahan yang lazim terdapat dalam literatur fiqh munakahat maupun
hukum perkawinan. Sedangkan kata siri (bahasa arab; jamak asrar)
mempunyai pengertian rahasia, sembunyi-sembunyi, misteri, dengan diam-diam,
tertutup, dan gundik.[19]
Yang dimaksud dengan nikah
siri menurut penulis adalah sebuah akad nikah atau perkawinan yang telah
memenuhi segala persyaratan dan rukun nikah, akan tetapi peristiwa perkawinan
tersebut tidak dicatatkan di lembaga pencatat perkawinan atau Kantor Urusan
Agama (KUA), dan terkadang lebih parah lagi yang mengetahui adanya nikah siri
tersebut hanya beberapa orang yang terlibat secara langsung. Jadi nikah siri juga harus melalui tahapan
prosesi akad nikah seperti lazimnya perkawinan pada umumnya, tapi akad nikahnya
tidak dicatatkan di lembaga resmi. Orang yang akan melangsungkan nikah siri
harus memenuhi berbagai syarat dan rukun sebagaimana telah diatur dalam fiqh
munakahat. Yang dijadikan pedoman para pelaku nikah siri hanya literatur kitab-kitab
klasik, dan mengabaikan proses administratif sebagaimana yang telah diatur
dalam hukum perkawinan dan peraturan tekhnis di bawahnya. Oleh karena itu
pelaku nikah siri tidak mempunyai akta nikah.
Ada beberapa nama lain
dari nikah siri ini yang dikenal di masyarakat, di antaranya adalah kawin siri,
nikah syara`, nikah kyai, kawin bawah tangan, kawin diam-diam, kawin rahasia,
dan kawin lari.
C. Status Hukum Nikah Siri
Perspektif Fiqh Munakahat dan Hukum Perkawinan
Nikah siri sebagaimana yang dimaksudkan dalam pengertian tersebut di atas
pada prinsipnya sama dengan perkawinan pada lazimnya. Ketika melangsungkan
nikah siri, semua syarat rukun perkawinan harus telah dipenuhi. Calon suami,
calon isteri, wali, ijab qabul, dan para saksi telah dipersiapkan dan telah
memenuhi persyaratan subtantif syari`at Islam. Di dalam syari`at Islam,
pencatatan perkawinan oleh petugas tidak termasuk syarat rukun perkawinan. Oleh
karena itu menurut penulis, ada atau tidak adanya pencatatan perkawinan tidak
mempengaruhi sah atau tidak sah suatu perkawinan. Sah atau tidak sah perkawinan
hanya diukur dari aspek terpenuhinya syarat rukun subtantif perkawinan yang
meliputi calon suami, calon isteri, wali, ijab qabul, dan dua orang saksi.
Nikah siri yang telah memenuhi syarat rukun subtantif nikah maka status
hukumnya adalah sah. Apabila di kemudian hari diadakah pencatatan di Kantor
Urusan Agama (KUA) maka tidak memerlukan lagi akad nikah yang baru.
Perkawinan merupakan sebuah peristiwa hukum dan oleh karena itu pencatatan
perkawinan mempunyai arti yang sangat penting untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan permasalahan yang akan muncul di kemudian hari. Meskipun secara
tektual tidak ada ketentuan pencatatan perkawinan dalam nash al Quran atau
hadits, pencatatan perkawinan ini dapat diqiyaskan dengan pencatatan transaksi
utang piutang (dain) sebagaimana terekam dalam Al Quran surat al Baqarah
ayat 282 (faktubuh, wal yaktub bainakum katibun bil `adl).
Tujuan pencatatan perkawinan juga untuk mewujudkan kemaslahatan bagi para
pihak yang terlibat dalam perkawinan serta anak-anak juga keluarga mereka dan menghindari mafsadat (kemungkinan terburuk)
minimal berupa fitnah. Maslahat dan mafsadat pencatatan perkawinan ini bersifat
personal dan relatif tergantung situasi dan kondisi yang bersangkutan.
Berdasarkan kaidah ushul fiqh dar`ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashalih
(menghindari kemungkinan terburuk yang menyebabkan kerusakan harus didahulukan
dari pada menarik maslahat), maka para pelaku perkawinan harus berfikir secara
jernih dan bertanggungjawab untuk tidak mencatatkan perkawinan mereka. Jadi, menurut
penulis pencatatan perkawinan harus dilaksanakan dan hukumnya wajib meskipun
tidak mempengaruhi sahnya perkawinan.
Pelaku nikah siri tidak memerlukan dokumen-dokumen kelengkapan
administratif dari kelurahan, kecamatan atau Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat. Yang menjadi ciri khas utama nikah siri adalah tidak adanya pencatatan
nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan tidak ada bukti administratif yang
autentik telah terjadinya perbuatan hukum berupa perkawinan. Oleh karena itu
para pelaku nikah siri tidak mempunyai akta nikah yang dapat dijadikan sebagai
alat bukti yang sah terhadap perkawinan mereka. Di hadapan hukum mereka akan
kesulitan untuk membuktikan kalau mereka telah menikah. Karena adanya kesulitan
pembuktian seperti ini maka akan memunculkan fitnah kepada para pelaku,
keluarga dan juga anak-anak yang dilahirkan dari nikah siri tersebut. Pembuktian
perkawinan ini juga diperlukan dalam pengurusan dokumen administrasi
kependudukan setiap warga negara.
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Berdasarkan ketentuan ini maka nikah
siri yang telah memenuhi syarat rukun sebagaimana diatur dalam fiqh munakahat
maka perkawinan mereka adalah sah menurut ajaran agama dan juga sah menurut
undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Pencatatan perkawinan
merupakan aturan yang sifatnya administratif, dan tidak ada sanksi hukum bagi
mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya. Perkawinan yang tidak dicatatkan
ini tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga akan merugikan para pihak yang
berkepentingan apabila diperlukan bukti-bukti administratif telah terjadinya perkawinan
tersebut di kemudian hari.
D. Beberapa Faktor Penyebab dan Problematika Nikah Siri
Terjadinya nikah siri di
masyarakat merupakan sebuah fenomena atau realitas sosial dan tentu ada
alasan-alasan atau motifasi dari para pelakunya. Di antara alasan-alasan para
pelaku melakukan nikah siri ini, menurut penulis antara lain adalah pertama
para pelaku nikah siri tidak bisa atau kesulitan memenuhi persyaratan
administratif yang disyaratkan oleh undang-undang perkawinan atau peraturan
tekhnis di bawahnya. Misalnya calon mempelai yang belum mencapai usia batas
syarat nikah yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.[20]
Setelah melakukan upaya dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) tidak
berhasil, kemudian mereka melakukan nikah siri sebagai alternatif terakhir. Ada
juga yang karena menunggu proses cerai di Pengadilan Agama (PA) yang
berlarut-larut[21],
nikah siri menjadi alternatif ketika akan melangsungkan perkawinan lagi.
Kedua, para pelaku nikah siri terbentur dengan persyaratan
administratif atau aturan kepegawaian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI,
POLRI, pegawai perusahaan swasta tertentu atau pensiunan. Para pelaku (janda
atau duda pensiunan) sengaja menyembunyikan perkawinan mereka (dengan nikah
siri) agar tunjangan pensiun tidak berhenti. Para pelaku juga menyembunyikan perkawinan
mereka (dengan nikah siri) agar mereka tidak dikeluarakan dari perusahaan
tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Nikah siri sebagai ’penyelamat’
keadaan yang amat darurat.
Ketiga, nikah siri sebagai penutup aib yaitu untuk
menutupi rasa malu di masyarakat karena ternyata diketahui anak gadisnya sudah
hamil terlebih dahulu, atau mungkin sudah terlanjur melahirkan. Orang tua atau
wakilnya biasanya menginformasikan ke masyarakat (ketika ada upacara walimah
arus) bahwa anaknya sudah nikah siri beberapa bulan yang lalu, dan sekarang
baru sempat mengurus administratif perkawinan di KUA setempat.
Keempat, nikah siri sebagai alternatif poligami
untuk ’mengamankan’ bangunan rumah tangga dengan isteri sebelumnya. Bangunan
rumah tangga dengan isteri terdahulu akan tetap kokoh dan aman, sementara suami
kawin lagi dengan wanita idamannya dengan cara nikah siri tanpa diketahui oleh
isteri atau keluarga isteri terdahulu. Jadi nikah siri dijadikan sebagai
alternatif pahlawan penolong bagi mereka yang suka poligami dengan memiliki
isteri simpanan[22]
yang sah menurut agama.
Kelima, nikah siri sebagai upaya tindakan
prefentif untuk menghindari dosa atau zina bagi para pasangan muda mudi yang
sedang berpacaran. Di suatu daerah tertentu yang ajaran atau keyakinan agamanya
sangat kuat, ketika ada khitbah (lamaran) biasanya ada yang langsung
menikahkan anak mereka dengan cara nikah siri terlebih dahulu. Mereka takut kalau
anak mereka terjerumus dosa, dan beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian
baru dilangsungkan ’perkawinan negara’ atau ’perkawinan resmi’.
Terdapat beberapa dampak
negatif (mafsadat) yang diakibatkan oleh nikah siri. Di antara dampak negatif
tersebut adalah anak yang dilahirkan dari nikah siri akan menjadi korban.
Permasalahan anak yang dilahirkan dari nikah siri ini di antaranya adalah pertama, biasanya anak tersebut
menemukan kesulitan dalam pengurusan dokumen administrasi kependudukan. Kedua,
tidak adanya jaminan terpenuhinya hak-hak sipil sebagai anak. Ketiga,
secara keperdataan anak tersebut hanya mempunyai nasab kepada ibu atau
keturunan ibu, meskipun secara syar`i anak tersebut mempunyai bapak. Jadi
status anak tersebut dianggap sebagai anak dari seorang ibu yang tidak
mempunyai suami.[23]
Wanita yang dinikah siri juga
terkadang menjadi korban. isteri tidak mendapatkan perlindungan hukum atas
status perkawinan mereka, apabila hak-hak isteri diabaikan oleh suami maka ia
tidak dapat memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum. Isteri yang dinikah
siri akan sangat terpukul apabila ternyata suaminya tidak bertanggungjawab dan
hanya ’menikmati sesaat’ atas perkawinan mereka, habis manis sepah dibuang.
Belum lagi status isteri yang diceraikan dari nikah siri ini. Secara lahiriyah
sudah tidak gadis lagi atau janda, tetapi ia tidak mempunyai bukti pernah
melangsungkan perkawinan atau sudah cerai.
Dari beberapa paparan tersebut
di atas, nampak jelas bahwa nikah siri merupakan perkawinan yang problematik
dan dampak negatifnya sangat besar meskipun diakui ada juga nilai positif atau
maslahatnya sebagaimana telah dipaparkan di atas.
III. PENUTUP
Nikah siri masih
banyak dan sering terjadi di masyarakat. Hukum perkawinan tidak mengatur secara
tegas tentang status hukum nikah siri. Nikah siri yang telah memenuhi semua
syarat rukun perkawinan dalam fiqh munakahat hukumnya adalah sah. Hukum
perkawinan menekankan arti pentingnya pencatatan perkawinan sebagai sebuah alat
bukti peristiwa hukum dan bersifat administratif. Pencatatan perkawinan ini akan
memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pihak yang melangsungkan
perkawinan dan juga anak dan keluarga.
Terjadinya nikah siri akan
menimbulkan problematika bagi para pelakunya dan keluarganya, baik problematika
hukum maupun problematika sosial. Terdapat nilai positif dan negatif pada kawin
siri tersebut. Harus dipertimbangkan aspek maslahat dan madlarat agar nikah
siri tersebut tidak menyimpang dari tujuan disyari`atkannya perkawinan.
Wallahu a`lam
[[[[()]]]]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT.
Intermasa, 1996
Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Saurah, Jami’us
Shahih Sunan At Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, tth.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UU Press, 2004
Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2001
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al Munawir, 1984
Kompilasi Hukum Islam.
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut: Darul Fikr, tth.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004
Muhammad As Syaukani, Nail Al Authar, Jilid III, Beirut: Dar al
Fikr, 1994
Muhammad Asy Syaukani, Nail Al
Ahtar, Beirut: Daar Al- Qutub Al-Arabia, Juz IV,1973
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz
II, Indonesia: Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Qur’an, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di
Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978
Abstrak
Perkawinan yang
tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau yang dikenal dengan kawin
siri mengundang pro dan kontra. Pelaku kawin siri mempunyai berbagai ragam motivasi
yang berbeda satu dengan lainnya. Kawin siri ini masih banyak dan sering
terjadi di masyarakat.
Hukum perkawinan tidak
mengatur secara tegas tentang status hukum kawin siri. Hukum perkawinan
menekankan arti pentingnya pencatatan perkawinan sebagai sebuah peristiwa
hukum. Pencatatan perkawinan ini mempunyai arti penting terhadap berbagai
peristiwa yang ditimbulkan sebagai akibat adanya perkawinan baik administrasi
kependudukan maupun jaminan hak-hak keperdataan bagi para pihak yang
berkepentingan.
Terjadinya kawin siri akan
menimbulkan problematika bagi para pelakunya dan keluarganya, baik problematika
hukum maupun problematika sosial. Meskipun demikian terdapat nilai positif dan negatif pada kawin siri
tersebut. Oleh karena itu harus dipertimbangkan aspek maslahat dan madlarat
agar perkawinan siri tersebut sesuai dengan tujuan disyari`atkannya perkawinan.
Kata kunci: Hukum Perkawinan, Kawin Siri
[1]
Makalah disampaikan dalam Studium General Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo,
tanggal 30 September 2010 di Aula II Kampus III
IAIN Walisongo
[3]
Muhammad As Syaukani, Nail Al Authar, Jilid III, Beirut: Dar al Fikr, 1994,
hal. 209
[4]
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz II,
Indonesia: Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth, hlm.36.
[5]
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm. 43.
[6]
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut: Darul Fikr, tth, hlm.
373.
[7] Taqiyuddin Abi Bakar, loc. cit.
[9] Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
[10]
Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Qur’an, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 115.
[11]Ibid,
hlm. 549.
[12]
Muhammad Asy Syaukani, Nail Al Ahtar,
Beirut: Daar Al- Qutub Al-Arabia, Juz IV,1973, hlm. 171.
[13]
Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Saurah, Jami’us
Shahih Sunan At Tirmidzi, Beirut:
Darul Fikr, tth, hlm. 467.
[14]
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di
Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978,
hlm. 3-4.
[15]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UU Press, 2004 hlm. 14.
[16] Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 26.
[17] Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, op.cit., hlm. 644.
[18]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermasa,
1996, hlm. 1329.
[19]
Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al Munawir, 1984, hal. 667-668
[20]
Lihat ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974
[21]
Sebelum ada putusan cerai dari PA, pihak suami atau isteri sudah meyakini bahwa
thalak pada hakekatnya sudah jatuh sekian bulan yang lalu (thalak kinayah atau
sharih) terhitung sejak suami menyatakan thalak, dan telah lewat masa iddahnya
bagi wanita.
[22]
Dalam fiqh munakahat, suami yang akan berpoligami tidak memerlukan syarat
persetujuan dari isteri sebelumnya.
[23]
Dalam konteks perlindungan anak, maka pelaku kawin siri yang melahirkan anak
dan mengakibatkan penelantaran anak sehingga anak menderita fisik, mental
maupun sosial dapat dipidana 5 tahun. Lihat ketentuan Pasal 77 UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.