Selasa, 26 November 2013

STATUS HUKUM PROBLEMATIKA KAWIN SIRI



STATUS HUKUM DAN PROBLEMATIKA
NIKAH SIRI DI INDONESIA[1]
Oleh
DR.H.Ali Imron Hs[2]

I. PENDAHULUAN
Akad nikah atau ikatan perkawinan tidak dapat disamakan dengan sebuah ikatan perikatan dalam hukum perdata. Akad nikah merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang menyatakan sebagai suami isteri dan bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah diridlai oleh Allah subhanahu wa ta`ala. Ikatan lahir bathin berarti bahwa hubungan pertalian erat antara suami isteri tersebut tidak hanya dari aspek fisik lahiriyah semata akan tetapi juga adanya ikatan emosional bathiniyyah.
Ikatan perkawinan tidak hanya untuk menghalalkan hubungan biologis (sex) semata, atau tidak hanya untuk mendapatkan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu yaitu untuk membina keluarga yang bahagia penuh cinta kasih, menentramkan jiwa dan berakhir dengan diperolehnya kebahagiaan lahir bathin. Kebahagiaan sebagai wujud manifestasi dari kesejahteraan lahir bathin warga negara merupakan salah satu tujuan Indonesia merdeka dan oleh karena itu Negara berkepentingan untuk melindungi kepentingan warga negaranya, kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta diikuti dengan berbagai peraturan tekhnis di bawahnya.
Perkawinan merupakan syari`at Islam. Rasulullah saw sangat menganjurkan umatnya untuk melangsungkan perkawinan bahkan orang yang tidak senang dengan perkawinan dianggap bukan umatnya. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya aku puasa, berbuka, shalat, tidur dan menikahi wanita. Barang siapa membenci (tidak melaksanakan) nikah berarti ia bukan umatku”.[3] Hadits ini jelas bahwa Islam mensyari`atkan adanya perkawinan sebagai sebuah ibadah. Peraturan perkawinan secara detail dalam ajaran Islam diatur lebih lanjut dalam fiqh munakahat dengan berbagai varian mazhab hukumnya.
Meskipun negara telah mengatur regulasi tentang perkawinan untuk melindungi hak-hak sipil warga negaranya, nampaknya nikah siri masih menjadi alternatif pilihan sebagian masyarakat. Nikah siri ini merupakan nikah problematik. Realitas menunjukkan bahwa nikah siri ini masih banyak dan sering terjadi di masyarakat Indonesia. Berbagai alasan dikemukakan oleh para pelaku nikah siri ini.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji lebih jauh tentang  status hukum nikah siri tersebut dan untuk mengurai problematika yang mengiringinya.

II. PEMBAHASAN
A. Hakekat Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa berarti al jam`u yang artinya menghimpun dan al dzam yang berarti mengumpulkan.[4] Sebutan lain perkawinan adalah  at-tazwij yang terambil dari kata zawwaja yuzawwiju - tazwijan (arab) yang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperisteri.[5]
Terdapat beberapa definisi perkawinan menurut istilah, di antaranya adalah
عقد يتضمن إباحة وطئ بلفظ إنكاح أوتزويج أوترجمته. [6]
Artinya:  Akad yang menjamin bolehnya bersetubuh dengan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahnya.
العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط. [7]
Artinya: Akad yang terkenal dan mengandung beberapa rukun dan syarat.

Di dalam hukum perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin, antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8] Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan perkawinan sebagai suatu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.[9] Dari beberapa definisi tersebut, penulis lebih memilih definisi yang tertuang dalam undang-undang perkawinan.
Dasar hukum disyariatkannya perkawinan adalah ayat-ayat al Quran dan beberapa hadits Nabi saw. Firman Allah swt dalam Al Quran surat an Nisa` ayat 3 yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap( hak-hak) perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, maka  kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah yang lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. [10]
Firman Allah swt dalam surat an Nur ayat 32 yang artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya)”. [11]
Rasulullah  saw. bersabda:
عن ابن مسعود رضي الله تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء. (رواه الجماعة). [12]
Artinya:  Dari ibnu mas’ud ra. berkata; Rasulullah saw bersabda’’ Wahai para kaum muda barang siapa di antara kamu telah mampu akan beban nikah maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu (menikah) maka hendaklah dia rajin puasa karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan nafsu baginya. (HR. Al jama’ah)

Rasulullah  saw. bersabda:
وعن قتادة عن الحسن عن سمرة: ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن التبتل, وقرأقتادة: ولقد ارسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم ازواجا وذرية. (الرعد: ٣٨) (وابن ماجه) [13].

Artinya: Dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah; Sesungguhnya Nabi saw melarang membujang, selanjutnya Qatadah membaca ayat . Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan kepada mereka beberapa istri dan anak cucu. (HR. ibnu majah) 
     
       Para fuqaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari perkawinan menurut pendapat yang terbanyak dari fuqaha imam Syafi’i hukum nikah adalah mubah, menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali hukum nikah adalah sunnah, sedangkan menurut madzhab Dhahiri dan Ibnu Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup.[14] Adapun hukum melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat dan akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di antara para ulama’, bahwa hukum melaksanakan perkawinan ada lima macam yaitu:
a.       Jaiz (boleh), ini asal hukumnya.
b.       Sunat, bagi orang yang berkehendak serta cukup nafkah sandang, pangan, dan lain-lain.
c.       Wajib, bagi orang yang cukup sandang, pangan dan dikhawatirkan terjerumus ke dalam lembah perzinaan.
d.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
e.       Haram, bagi orang yang hendak menyakiti perempuan yang akan dinikahi.[15]
Nilai asasi yang ingin diraih dari perkawinan adalah ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang. Bila ketenangan dan ketentraman mewarnai suasana rumah tangga, maka ia akan menghasilkan manusia unggulan dan terjamin mutu.[16] Hal ini senada dengan firman Allah swt surat Ar-Rum ayat 21 yaitu:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya:  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).[17]

Berdasarkan ayat tersebut, menurut penulis terdapat lima nilai fundamental dalam perkawinan yaitu suami isteri merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (min anfusikum) atau dalam bahasa jawanya sak awak, ketenangan jiwa (litaskunu ilaiha), cinta kasih (mawaddah) yang lebih berorientasi pada pemenuhan nafsu biologis, kasih sayang (rahmah) yang lebih berorientasi pada sifat-sifat kemanusiaan sampai akhir hayatnya, dan arti pentingnya berfikir (yatafakkarun) secara realistis dalam menghadapi problematika kehidupan berumah tangga tidak mengedepankan emosional.
Terdapat banyak fungsi dan tujuan dari perkawinan, di antaranya adalah:
1.      Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar.
2.      Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah.
3.      Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan.
4.      Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan isteri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.[18]
Perkawinan yang berkualitas merupakan harapan para pihak yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan perkawinan tersebut. Suatu perkawinan dianggap berkualitas apabila nilai asasi atau nilai fundamental dalam perkawinan dapat terwujud dalam kehidupan berumah tangga.

B. Pengertian Nikah Siri
Terminologi nikah siri tidak ditemukan di dalam hukum perkawinan maupun dalam fiqh munakahat klasik. Untuk mengetahui pengertian nikah siri ini maka dapat ditelusuri dari pengertian etimologis kata nikah dan kata siri. Kata nikah dapat diidentikkan dengan perkawinan atau pernikahan. Oleh karena itu pengertian kata nikah ini identik dengan pengertian perkawinan atau pernikahan yang lazim terdapat dalam literatur fiqh munakahat maupun hukum perkawinan. Sedangkan kata siri (bahasa arab; jamak asrar) mempunyai pengertian rahasia, sembunyi-sembunyi, misteri, dengan diam-diam, tertutup, dan gundik.[19]
Yang dimaksud dengan nikah siri menurut penulis adalah sebuah akad nikah atau perkawinan yang telah memenuhi segala persyaratan dan rukun nikah, akan tetapi peristiwa perkawinan tersebut tidak dicatatkan di lembaga pencatat perkawinan atau Kantor Urusan Agama (KUA), dan terkadang lebih parah lagi yang mengetahui adanya nikah siri tersebut hanya beberapa orang yang terlibat secara langsung.  Jadi nikah siri juga harus melalui tahapan prosesi akad nikah seperti lazimnya perkawinan pada umumnya, tapi akad nikahnya tidak dicatatkan di lembaga resmi. Orang yang akan melangsungkan nikah siri harus memenuhi berbagai syarat dan rukun sebagaimana telah diatur dalam fiqh munakahat. Yang dijadikan pedoman para pelaku nikah siri hanya literatur kitab-kitab klasik, dan mengabaikan proses administratif sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perkawinan dan peraturan tekhnis di bawahnya. Oleh karena itu pelaku nikah siri tidak mempunyai akta nikah. 
Ada beberapa nama lain dari nikah siri ini yang dikenal di masyarakat, di antaranya adalah kawin siri, nikah syara`, nikah kyai, kawin bawah tangan, kawin diam-diam, kawin rahasia, dan  kawin lari.

C. Status Hukum Nikah Siri Perspektif Fiqh Munakahat dan Hukum Perkawinan
Nikah siri sebagaimana yang dimaksudkan dalam pengertian tersebut di atas pada prinsipnya sama dengan perkawinan pada lazimnya. Ketika melangsungkan nikah siri, semua syarat rukun perkawinan harus telah dipenuhi. Calon suami, calon isteri, wali, ijab qabul, dan para saksi telah dipersiapkan dan telah memenuhi persyaratan subtantif syari`at Islam. Di dalam syari`at Islam, pencatatan perkawinan oleh petugas tidak termasuk syarat rukun perkawinan. Oleh karena itu menurut penulis, ada atau tidak adanya pencatatan perkawinan tidak mempengaruhi sah atau tidak sah suatu perkawinan. Sah atau tidak sah perkawinan hanya diukur dari aspek terpenuhinya syarat rukun subtantif perkawinan yang meliputi calon suami, calon isteri, wali, ijab qabul, dan dua orang saksi. Nikah siri yang telah memenuhi syarat rukun subtantif nikah maka status hukumnya adalah sah. Apabila di kemudian hari diadakah pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) maka tidak memerlukan lagi akad nikah yang baru.
Perkawinan merupakan sebuah peristiwa hukum dan oleh karena itu pencatatan perkawinan mempunyai arti yang sangat penting untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan permasalahan yang akan muncul di kemudian hari. Meskipun secara tektual tidak ada ketentuan pencatatan perkawinan dalam nash al Quran atau hadits, pencatatan perkawinan ini dapat diqiyaskan dengan pencatatan transaksi utang piutang (dain) sebagaimana terekam dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 282 (faktubuh, wal yaktub bainakum katibun bil `adl).
Tujuan pencatatan perkawinan juga untuk mewujudkan kemaslahatan bagi para pihak yang terlibat dalam perkawinan serta anak-anak juga keluarga mereka dan  menghindari mafsadat (kemungkinan terburuk) minimal berupa fitnah. Maslahat dan mafsadat pencatatan perkawinan ini bersifat personal dan relatif tergantung situasi dan kondisi yang bersangkutan. Berdasarkan kaidah ushul fiqh dar`ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashalih (menghindari kemungkinan terburuk yang menyebabkan kerusakan harus didahulukan dari pada menarik maslahat), maka para pelaku perkawinan harus berfikir secara jernih dan bertanggungjawab untuk tidak mencatatkan perkawinan mereka. Jadi, menurut penulis pencatatan perkawinan harus dilaksanakan dan hukumnya wajib meskipun tidak mempengaruhi sahnya perkawinan.
Pelaku nikah siri tidak memerlukan dokumen-dokumen kelengkapan administratif dari kelurahan, kecamatan atau Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Yang menjadi ciri khas utama nikah siri adalah tidak adanya pencatatan nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan tidak ada bukti administratif yang autentik telah terjadinya perbuatan hukum berupa perkawinan. Oleh karena itu para pelaku nikah siri tidak mempunyai akta nikah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah terhadap perkawinan mereka. Di hadapan hukum mereka akan kesulitan untuk membuktikan kalau mereka telah menikah. Karena adanya kesulitan pembuktian seperti ini maka akan memunculkan fitnah kepada para pelaku, keluarga dan juga anak-anak yang dilahirkan dari nikah siri tersebut. Pembuktian perkawinan ini juga diperlukan dalam pengurusan dokumen administrasi kependudukan setiap warga negara.
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Berdasarkan ketentuan ini maka nikah siri yang telah memenuhi syarat rukun sebagaimana diatur dalam fiqh munakahat maka perkawinan mereka adalah sah menurut ajaran agama dan juga sah menurut undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Pencatatan perkawinan merupakan aturan yang sifatnya administratif, dan tidak ada sanksi hukum bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga akan merugikan para pihak yang berkepentingan apabila diperlukan bukti-bukti administratif telah terjadinya perkawinan tersebut di kemudian hari.

D. Beberapa Faktor Penyebab dan Problematika Nikah Siri
Terjadinya nikah siri di masyarakat merupakan sebuah fenomena atau realitas sosial dan tentu ada alasan-alasan atau motifasi dari para pelakunya. Di antara alasan-alasan para pelaku melakukan nikah siri ini, menurut penulis antara lain adalah pertama para pelaku nikah siri tidak bisa atau kesulitan memenuhi persyaratan administratif yang disyaratkan oleh undang-undang perkawinan atau peraturan tekhnis di bawahnya. Misalnya calon mempelai yang belum mencapai usia batas syarat nikah yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.[20] Setelah melakukan upaya dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) tidak berhasil, kemudian mereka melakukan nikah siri sebagai alternatif terakhir. Ada juga yang karena menunggu proses cerai di Pengadilan Agama (PA) yang berlarut-larut[21], nikah siri menjadi alternatif ketika akan melangsungkan perkawinan lagi.
Kedua, para pelaku nikah siri terbentur dengan persyaratan administratif atau aturan kepegawaian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, POLRI, pegawai perusahaan swasta tertentu atau pensiunan. Para pelaku (janda atau duda pensiunan) sengaja menyembunyikan perkawinan mereka (dengan nikah siri) agar tunjangan pensiun tidak berhenti.  Para pelaku juga menyembunyikan perkawinan mereka (dengan nikah siri) agar mereka tidak dikeluarakan dari perusahaan tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Nikah siri sebagai ’penyelamat’ keadaan yang amat darurat.
Ketiga, nikah siri sebagai penutup aib yaitu untuk menutupi rasa malu di masyarakat karena ternyata diketahui anak gadisnya sudah hamil terlebih dahulu, atau mungkin sudah terlanjur melahirkan. Orang tua atau wakilnya biasanya menginformasikan ke masyarakat (ketika ada upacara walimah arus) bahwa anaknya sudah nikah siri beberapa bulan yang lalu, dan sekarang baru sempat mengurus administratif perkawinan di KUA setempat.
Keempat, nikah siri sebagai alternatif poligami untuk ’mengamankan’ bangunan rumah tangga dengan isteri sebelumnya. Bangunan rumah tangga dengan isteri terdahulu akan tetap kokoh dan aman, sementara suami kawin lagi dengan wanita idamannya dengan cara nikah siri tanpa diketahui oleh isteri atau keluarga isteri terdahulu. Jadi nikah siri dijadikan sebagai alternatif pahlawan penolong bagi mereka yang suka poligami dengan memiliki isteri simpanan[22] yang sah menurut agama. 
Kelima, nikah siri sebagai upaya tindakan prefentif untuk menghindari dosa atau zina bagi para pasangan muda mudi yang sedang berpacaran. Di suatu daerah tertentu yang ajaran atau keyakinan agamanya sangat kuat, ketika ada khitbah (lamaran) biasanya ada yang langsung menikahkan anak mereka dengan cara nikah siri terlebih dahulu. Mereka takut kalau anak mereka terjerumus dosa, dan beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian baru dilangsungkan ’perkawinan negara’ atau ’perkawinan resmi’. 
Terdapat beberapa dampak negatif (mafsadat) yang diakibatkan oleh nikah siri. Di antara dampak negatif tersebut adalah anak yang dilahirkan dari nikah siri akan menjadi korban. Permasalahan anak yang dilahirkan dari nikah siri ini di antaranya adalah  pertama, biasanya anak tersebut menemukan kesulitan dalam pengurusan dokumen administrasi kependudukan. Kedua, tidak adanya jaminan terpenuhinya hak-hak sipil sebagai anak. Ketiga, secara keperdataan anak tersebut hanya mempunyai nasab kepada ibu atau keturunan ibu, meskipun secara syar`i anak tersebut mempunyai bapak. Jadi status anak tersebut dianggap sebagai anak dari seorang ibu yang tidak mempunyai suami.[23]
Wanita yang dinikah siri juga terkadang menjadi korban. isteri tidak mendapatkan perlindungan hukum atas status perkawinan mereka, apabila hak-hak isteri diabaikan oleh suami maka ia tidak dapat memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum. Isteri yang dinikah siri akan sangat terpukul apabila ternyata suaminya tidak bertanggungjawab dan hanya ’menikmati sesaat’ atas perkawinan mereka, habis manis sepah dibuang. Belum lagi status isteri yang diceraikan dari nikah siri ini. Secara lahiriyah sudah tidak gadis lagi atau janda, tetapi ia tidak mempunyai bukti pernah melangsungkan perkawinan atau sudah cerai.   
Dari beberapa paparan tersebut di atas, nampak jelas bahwa nikah siri merupakan perkawinan yang problematik dan dampak negatifnya sangat besar meskipun diakui ada juga nilai positif atau maslahatnya sebagaimana telah dipaparkan di atas.

III. PENUTUP
Nikah siri masih banyak dan sering terjadi di masyarakat. Hukum perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang status hukum nikah siri. Nikah siri yang telah memenuhi semua syarat rukun perkawinan dalam fiqh munakahat hukumnya adalah sah. Hukum perkawinan menekankan arti pentingnya pencatatan perkawinan sebagai sebuah alat bukti peristiwa hukum dan bersifat administratif. Pencatatan perkawinan ini akan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan dan juga anak dan keluarga.
Terjadinya nikah siri akan menimbulkan problematika bagi para pelakunya dan keluarganya, baik problematika hukum maupun problematika sosial. Terdapat nilai positif dan negatif pada kawin siri tersebut. Harus dipertimbangkan aspek maslahat dan madlarat agar nikah siri tersebut tidak menyimpang dari tujuan disyari`atkannya perkawinan.
Wallahu a`lam

[[[[()]]]]





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1996
Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Saurah, Jami’us Shahih Sunan At Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, tth.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:  UU Press, 2004
Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984
Kompilasi Hukum Islam.
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut: Darul Fikr, tth.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Muhammad As Syaukani, Nail Al Authar, Jilid III, Beirut: Dar al Fikr, 1994
Muhammad Asy  Syaukani, Nail Al Ahtar, Beirut: Daar Al- Qutub Al-Arabia, Juz IV,1973
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz II, Indonesia: Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah  Al-Qur’an, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978








Abstrak
Perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau yang dikenal dengan kawin siri mengundang pro dan kontra. Pelaku kawin siri mempunyai berbagai ragam motivasi yang berbeda satu dengan lainnya. Kawin siri ini masih banyak dan sering terjadi di masyarakat.
Hukum perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang status hukum kawin siri. Hukum perkawinan menekankan arti pentingnya pencatatan perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum. Pencatatan perkawinan ini mempunyai arti penting terhadap berbagai peristiwa yang ditimbulkan sebagai akibat adanya perkawinan baik administrasi kependudukan maupun jaminan hak-hak keperdataan bagi para pihak yang berkepentingan.
Terjadinya kawin siri akan menimbulkan problematika bagi para pelakunya dan keluarganya, baik problematika hukum maupun problematika sosial. Meskipun demikian terdapat nilai positif dan negatif pada kawin siri tersebut. Oleh karena itu harus dipertimbangkan aspek maslahat dan madlarat agar perkawinan siri tersebut sesuai dengan tujuan disyari`atkannya perkawinan.

Kata kunci: Hukum Perkawinan, Kawin Siri



[1] Makalah disampaikan dalam Studium General Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo, tanggal 30 September 2010 di Aula II Kampus III  IAIN Walisongo
[2] DR.Ali Imron Hs,M.Ag, dosen Hukum Perdata Islam Indonesia (HPII) pada Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang. E-mail: imronmangkang@yahoo.com
[3] Muhammad As Syaukani, Nail Al Authar, Jilid III, Beirut: Dar al Fikr, 1994, hal. 209
[4] Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz II, Indonesia: Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth, hlm.36.
[5] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 43.
[6] Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut: Darul Fikr, tth, hlm. 373.
[7] Taqiyuddin Abi Bakar, loc. cit. 
[8] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[9] Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
[10] Yayasan Penyelenggara Penterjemah  Al-Qur’an, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 115.
[11]Ibid, hlm. 549. 
[12] Muhammad Asy  Syaukani, Nail Al Ahtar, Beirut: Daar Al- Qutub Al-Arabia, Juz IV,1973, hlm. 171.
[13] Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Saurah, Jami’us Shahih Sunan At Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, tth, hlm. 467.
[14] Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 3-4.
[15] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:  UU Press, 2004 hlm. 14.
[16]  Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 26.
[17] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, op.cit., hlm. 644.
[18] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1996, hlm. 1329.
[19] Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984, hal. 667-668
[20] Lihat ketentuan Pasal  7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
[21] Sebelum ada putusan cerai dari PA, pihak suami atau isteri sudah meyakini bahwa thalak pada hakekatnya sudah jatuh sekian bulan yang lalu (thalak kinayah atau sharih) terhitung sejak suami menyatakan thalak, dan telah lewat masa iddahnya bagi wanita.
[22] Dalam fiqh munakahat, suami yang akan berpoligami tidak memerlukan syarat persetujuan dari isteri sebelumnya.
[23] Dalam konteks perlindungan anak, maka pelaku kawin siri yang melahirkan anak dan mengakibatkan penelantaran anak sehingga anak menderita fisik, mental maupun sosial dapat dipidana 5 tahun. Lihat ketentuan Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Rabu, 20 November 2013

STRATEGI IMPLEMENTASI KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DALAM PANCASILA



IMPLEMENTASI KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
DALAM BINGKAI PANCASILA
Oleh:
 Ali Imron[1]

PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia secara keseluruhan sudah bersepakat untuk kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Konsensus ini ditetapkan dalam Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966 dan terus menerus dikukuhkan kembali setiap kali ada sidang MPR.
Pancasila merupakan lima sila yang berisi nilai-nilai dasar yang menjiwai setiap gerakan untuk mewujudkan tujuan dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengembangan atas nilai-nilai dasar Pancasila dilaksanakan secara kreatif dan dinamis dengan memperhatikan tingkat kebutuhan serta perkembangan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, nilai-nilai dasar Pancasila perlu dioperasionalkan yaitu dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai dasar Pancasila sebagaimana tercantum dalam  Pembukaan UUD 1945 dijabarkan menjadi nilai instrumental, dan penjabaran atas nilai instrumental ini tetap mengacu pada nilai dasarnya dan dari nilai instrumental menjadi nilai praktis.
Perkembangan dinamika sosial masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang mendasar sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan andil yang cukup signifikan terhadap proses perkembangan sosial masyarakat Indonesia tersebut. Agar perubahan sosial masyarakat tersebut dapat terarah dengan baik maka perlu ada gerakan-gerakan yang terstruktur untuk terus membumikan nilai-nilai luhur Pancasila di tengah kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial masyarakat juga berdampak pada sikap perilaku masyarakat dalam memahami dan mengimplementasikan sistem hukum yang diberlakukan di Indonesia. Masyarakat perlu mendapatkan pencerahan tentang konsep pertanggungjawaban hukum dalam bingkai Pancasila. Oleh karena itu perlu ada strategi yang jitu dalam mengimplementasikan konsep-konsep hukum yang Pancasilais terhadap segenap lapisan masyarakat.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji tentang Pancasila sebagai asas pengikat bathin manusia Indonesia, konsep pertanggungjawaban hukum dalam bingkai Pancasila, dan strategi implementasi nilai luhur Pancasila.

PANCASILA: ASAS PENGIKAT BATHIN MANUSIA INDONESIA
Kata Pancasila, menurut Muhammad Yamin berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lima batu karang atau lima prinsip moral.[2] Perkataan Pancasila terdapat dalam buku Negara Kertagama karya Empu Prapanca, seorang penulis dan penyair istana, sebagai sebuah catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478 M). Akan tetapi term Pancasila diberi muatan dan makna baru oleh Soekarno. Menurut Muhammad Yamin, Pancasila adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila adalah warisan sosio historis Indonesia yang kemudian dirumuskan dalam lima prinsip.[3] Syafii Maarif senada dengan uraian Muhammad Yamin tersebut.[4]  Nilai-nilai rohaniyah yang bersifat ideologi yang ada di Indonesia, seperti nasionalisme, sosialisme dan Islam turut mengisi, memelihara dan memperkaya Pancasila.[5]
Notonagara[6]  dan Pranaka[7] mengemukakan posisi Pancasila sebagai ideologi kebangsaan mengalami perkembangan  yang signifikan dan mendapatkan kemantapan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali UUD 1945. Pengembangan pemikiran tentang Pancasila dimungkinkan oleh adanya anggapan bahwa Pancasila merupakan wadah di mana berbagai aliran ideologi merasa terpanggil dan berhak untuk memberikan interpretasi tentang muatan Pancasila.
Perkembangan karir Pancasila mencakup tiga hal, yaitu:
1)     Kebangsaan, yang selanjutnya menjadi dasar negara, sumber hukum dan ideologi nasional.
2)     Wadah (fungsi) dan isi (substansi).
3)     Perkembangan pemikiran tentang Pancasila dibentuk oleh pertemuan dan interaksi antara berbagai aliran ideologi yang ada di Indonesia.[8]
Menurut Sunoto[9] dan Hardono[10], ajaran Pancasila tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Dikatakan harmonis mengandung pengertian bahwa masing-masing sila tersusun secara selaras, serasi, dan seimbang sehingga tidak ditemukan ketimpangan di antara sila-sila yang termuat dalam Pancasila. Keharmonisan Pancasila berada dalam sistem filsafat artinya masing-masing sila itu merupakan suatu rangkaian yang dapat diuji kebenarannya melalui filsafat.
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah ideologi nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila dapat diartikan sebagai suatu konsensus mayoritas warga negara tentang nilai-nilai dasar yang ingin diwujudkan dalam mendirikan negara. Dalam hal ini sering juga disebut Philosofische Grondslag atau Weltanschauung yang merupakan pikiran-pikiran terdalam atau hasrat terdalam warga negaranya untuk diatasnya didirikan suatu negara.[11] Drijarkara senada dengan uraian tersebut.[12]
Pancasila juga merupakan grundnorm. Hal ini senada dengan teori Hans Kelsen tentang grundnorm sebagai dasar atau asas yang  paling dalam pada setiap hukum dan mengikat manusia secara batin. Teori Hans Kelsen ini berseberangan dengan teori Hart (1907) yang mengatakan bahwa hukum itu jauh dari moral dan ethik. Sesuatu bisa saja sah menurut hukum walaupun berdasarkan nilai-nilai batin masyarakat mencerminkan jauh dari rasa keadilan.[13]
Sebagai ideologi, Pancasila dapat dipahami sebagai konsekwensi dari pandangan hidup bangsa, falsafah bangsa, dan berupa seperangkat tata nilai yang dicita-citakan untuk direalisir. Pancasila digunakan untuk memberikan stabilitas arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak menuju tujuan masyarakat berbangsa.[14]  Pancasila mengandung sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol sekelompok masyarakat atau satu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman karya (atau perjuangan) untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa.[15] Dalam hubungan ini, fungsi penting ideologi antara lain adalah untuk membentuk identitas kelompok atau bangsa dan fungsi mempersatukannya.[16]  Ideologi dipahami sebagai nilai-nilai dan cita-cita luhur.[17]
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia yang dibuat oleh kekuasaan yang sah, bukan hanya berupa keputusan melainkan juga dalam pelaksanaannya sesuai dengan ideologi bangsa yang bersangkutan, sebagai pengayom bangsa, yang institusional, berdasarkan hukum alam. Artinya, pengakuan martabat manusia sebagai pribadi dengan kemungkinan untuk pengembangan dirinya.[18] Karena Indonesia telah memilih  negara hukum (welfare state) sebagai bentuk negara, maka setiap tindakan dan akibatnya yang dilakukan oleh pihak harus didasarkan dan diselesaikan menurut hukum.[19] Secara tidak langsung, semua hal akan disandarkan kepada Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Hukum sebagai instrumen perjuangan demokratisasi, menurut Muladi[20], maka proses pembuatan hukum (law making procces), proses penegakan (law enforcement procces), dan kesadaran hukum (law awareness) diharapkan dapat menggunakan Pancasila sebagai screening board dalam pelembagaan nilai-nilai universal dan domestik menjadi nilai-nilai yang diakui secara nasional.
Bila dibandingkan dengan agama,[21] yang berfungsi mempersatukan orang dari berbagai pandangan bahkan dari berbagai ideologi, maka sebaliknya ideologi mempersatukan orang-orang dari berbagai agama. Ideologi juga berfungsi untuk mengatasi berbagai konflik atau ketegangan sosial menjadi solidarity making dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam tata nilai yang lebih tinggi.[22]
Kekuatan suatu ideologi, termasuk Pancasila,  tergantung pada kualitas tiga dimensi yang ada pada ideologi itu sendiri[23], yaitu:
1)        Dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi tersebut secara riil berakar di dalam dan atau hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya (menjadi volkgeist/ jiwa bangsa).
2)        Dimensi idealisme, yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
3)        Dimensi fleksibilitas / pengembangan, yaitu ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan dan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi yang bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakekat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Secara politis, menurut Kuntowijoyo[24], Pancasila sampai sekarang tetap efektif sebagai ideologi yang mempersatukan Indonesia namun belum efektif sebagai ideologi ekonomi, sosial, maupun budaya. Hal ini dikarenakan Pancasila masih dipahami sebagai sebuah mitos dari pada ideologi. Kendati demikian, menurut Karl Mannheim, pada kondisi kritis yang terjadi pada tahun 1965, mitos lebih efektif dari pada ideologi sebab mitos bertumpu pada kepercayaan sedangkan ideologi bertumpu pada intelektualitas. Namun dalam kondisi normal mitos akan lumpuh dan tidak berdaya. Mitos lebih subjektif dan irasional mistifikatif sedangkan ideologi lebih objektif dan rasional dialektis.[25] Dengan demikian sebagai ideologi, Pancasila dituntut untuk tetap pada jati dirinya baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, Pancasila harus konsisten, koheren dan koresponden. Ke luar, Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun fertikal.[26]
Sebagai tolak ukur kebenaran dalam penjabaran nilai dasar Pancasila adalah kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Dalam kaitan ini adanya gagasan-gagasan dari perorangan maupun kelompok golongan disalurkan hingga menjadi kesepakatan bersama, baik secara formal maupun informal, yang dalam era Orde Baru dikenal dengan istilah Konsensus Nasional.
Dalam perspektif paham negara hukum dan falsafah hidup bangsa Indonesia, kepentingan individu dan kepentingan masyarakat diletakkan dalam posisi seimbang.[27] Tolak ukur demikian ini digunakan mengingat kehidupan dalam alam Pancasila sarat dengan kehidupan yang dilandasi oleh adanya dialog, musyawarah dan mufakat.
Bangsa Indonesia tidak apriori menolak atau apriori menerima budaya asing yang masuk ke Indonesia. Yaitu sepanjang budaya tersebut tidak bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia, dan sebaliknya akan memperkaya serta memperkuat atau memantapkan budaya yang telah ada, yang sudah barang tentu untuk dapat diterima harus melalui proses penilaian dan penyaringan dengan tolak ukur budaya bangsa Indonesia sendiri yaitu Pancasila. 

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DALAM BINGKAI PANCASILA
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sesuai dengan tujuan hukum atau peraturan yaitu untuk keadilan dan kemaslahatan manusia, selaku subjek hukum,  dalam segala aspek tata kehidupannya, maka segala ketentuan yang ada di dalam peraturan tersebut juga harus mencerminkan nilai filosofi dari kalimat keadilan dan  kemaslahatan tersebut. Rumusan pertanggungjawaban hukum juga harus disesuaikan dengan nilai filosofi keadilan dan kemaslahatan masyarakat Indonesia dalam bingkai Pancasila.
Nilai yang di dalam bahasa Inggris disebut value adalah termasuk dalam wilayah pengertian filsafat. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto[28] mengemukakan bahwa pada hakekatnya nilai adalah sesuatu yang diinginkan (positif) atau juga sesuatu yang tidak diinginkan (negatif). Menilai dapat berarti menimbang dan memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan yang dibuat itulah yang disebut nilai.
Penilaian baik atau buruk menggunakan pendekatan filsafat.  Oleh karena itu, menurut Amin Abdullah[29],  dalam memberikan penilaian juga memandang sistem etika sebagai cermin pola berfikir. Ada keterkaitan erat antara  etika dan sistem atau pola berfikir yang dianut oleh pribadi, kelompok atau masyarakat.
Sesuatu keputusan dapat mengatakan benar atau salah, religius atau tidak religius, dan sebagainya yang  berkaitan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu jasmani, kepercayaan, cipta, rasa dan karsa. Maka sesuatu dapat dikatakan mempunyai nilai yaitu apabila sesuatu itu berguna atau bermanfaat, benar (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral ethis), religius (nilai agama).[30]
Pertanggungjawaban hukum melekat pada pribadi seorang manusia. Menurut as Syatibi[31], pertimbangan utama yang dipakai untuk menganalisisnya adalah qudrah (kemampuan) dan masyaqqat (kesulitan). Qudrah merupakan unsur esensial dalam kewajiban hukum, dan oleh karenanya kewajiban apapun yang berada di luar kemampuan manusia yang wajar adalah tidak valid.
Kata tanggung jawab menurut bahasa berarti 1) keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya); 2) fungsi menerima pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. Kata bertanggungjawab mempunyai pengertian 1) berkewajian menanggung, memikul tanggung jawab; 2) menanggung segala sesuatunya. Kata mempertanggungjawabkan mempunyai pengertian memberikan jawab dan menanggung segala akibatnya (kalau ada kesalahan).[32]
Berdasarkan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut penulis, manusia Indonesia harus meyakini bahwa Tuhan adalah Dzat Penciptanya dan juga menciptakan alam semesta beserta isinya. Negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Pasal 29 UUD 1945 menyebutkan:
(1)   Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)   Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[33]
Kemerdekaan yang diberikan oleh Negara kepada penduduk Indonesia tidaklah bersifat mutlak tanpa batas-batas tertentu, akan tetapi kemerdekaan  penduduk tersebut dibatasi oleh ajaran agama dan kepercayaannya masing-masing. Semua aktifitas warga masyarakat harus senantiasa berada di bawah rambu-rambu ajaran agama dan kepercayaannya.
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai kesempurnaan penciptaan (ahsani taqwim).[34] Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan mempunyai bentuk yang sempurna, dan paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain, baik dilihat dari segi fisik maupun psikis dan ia dipercaya oleh Tuhan untuk mengelola jagad raya (khalifatullah fil ard).[35] Sebagai hamba Tuhan, ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
Pertanggungjawaban hukum tidak hanya sebatas di muka bumi ini, tetapi ia juga akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya kelak di akhirat. Menurut Huijbers[36], hukum pada prinsipnya mempunyai nilai-nilai transendental. Nilai-nilai transendental hukum berada pada pertanggungjawaban hukum.
Menurut Qodri Azizy[37], perlu ada keseimbangan antara amaliah (perbuatan) keduniaan dan amaliah keakhiratan. Dan yang lebih penting lagi bahwa al dunya mazra`at al akhirat yang artinya dunia adalah tanaman yang buahnya nanti akan dituai di akhirat kelak. Apabila seseorang telah meyakini bahwa semua prilakunya di dunia akan dituai atau dipetik buahnya di akhirat kelak, maka ia akan menjadi orang yang bertanggungjawab atas semua perbuatannya. 
Hal ini senada dengan firman Allah di dalam al Quran surat al Isra (17) ayat 36 yang artinya “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kelemahan-kelemahan baik yang berupa fisik maupun psikis (khuliqa al insaanu dha`ifa). Oleh karenanya pertanggungjawaban hukum atas diri manusia juga bergantung kepada kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Firman Allah di al Quran surat al Nisa (4) ayat 28 yang artinya Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Syari`at atau ajaran Tuhan senantiasa mempertimbangkan kemampuan dan kesanggupan makhluknya (la yukallifu Allah nafsan illa wus`aha). Ini berarti bahwa manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam upaya untuk memenuhi kewajibannya yaitu melaksanakan syari`at atau hukum. Oleh karena itu pertanggungjawaban dalam hukum juga merupakan wujud ikhtiyar ketaatan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kaitannya dengan sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya manusia sebagai subjek hukum mempunyai potensi fikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi kemanusiaan ini dimiliki oleh semua manusia sebagai anugerah Tuhan, tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit serta bersifat universal. Karena potensi yang dimiliki oleh manusia inilah sehingga ia ditempatkan sebagai makhluk Tuhan yang berkedudukan dan bermartabat yang tinggi (insan naatiq). Dalam ilmu mantiq (logika), manusia dirumuskan sebagai hayawanun natiqun artinya hewan yang bisa berkata-kata dan mengeluarkan pendapat dengan berdasarkan pikiranya.[38] Dengan akal budinya manusia menjadi berbudaya, dan dengan nuraninya manusia menyadari akan nilai-nilai dan norma-norma sehingga manusia menjadi bermoral.
Moral dibedakan menjadi dua[39], yaitu moral obyektif dan moral subyektif. Sumber moral obyektif adalah kodrat manusia atau manusia sebagai pribadi yang mempunyai budi sehingga mengenal Tuhan Pencipta dan sumber kebahagiaan. Sumber moral subyektif adalah suara batin atau suara hati sebagai kesadaran moral dalam bentuknya yang konkrit. Baik dan buruk tidak disandarkan kepada manusia seniman, manusia olah ragawan, manusia ilmuwan. Tetapi baik dan buruk dalam kaitannya moral disandarkan kepada manusia sebagai manusia. Dalam bahasa jawa disebut ‘rasa rumangsaning ati’.[40]
Pertanggungjawaban hukum dipengaruhi oleh kemampuan manusia dalam memahami dan menyadari nilai-nilai dan norma-norma tersebut. Manusia dianggap cakap melakukan tindakan hukum apabila akal budi dan nuraninya dalam kondisi yang ideal sebagai makhluk Tuhan yang sempurna. Kurang berfungsinya akal budi dan hilangnya nurani menandakan bahwa ia telah kehilangan status kemanusiaannya yang utuh. Oleh karena itu ia masuk kategori tidak cakap atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Prinsip kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang adil yang langsung dirangkaikan dengan kata beradab. Sifat adil itu sangat dekat dengan sifat ketaqwaan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa (tauhid), maka secara empirik, keadilan juga sangat berdekatan dengan keadaban (civility). Dengan sendirinya sifat berkeadilan dan berkeadaban merupakan konsekuensi logis dari tingginya kualitas ketaqwaan warga suatu masyarakat. Peradaban tidak mungkin tumbuh dalam struktur sosial yang tidak berkeadilan. Jika struktur sosial timpang, maka di dalamnya akan terjadi penindasan antar sesama manusia. Akibatnya, perkembangan peradaban masyarakat atau bangsa yang bersangkutan tidak dapat tumbuh secara sehat.[41]
Perasaan benci dan saling bermusuhan akan menyebabkan lunturnya nilai peradaban umat manusia. Munculnya rasa kebencian akan berpengaruh terhadap sikap keadilan seseorang. Dan oleh karena itu apabila nilai-nilai keadilan luntur disebabkan oleh rasa permusuhan dan kebencian[42] maka peradaban manusia semakin terkikis habis dari muka bumi ini. Adanya prinsip objektivitas atau tidak subjektif, prinsip tidak pilih kasih atau non favoritisme dan anti nepotisme, prinsip tidak berpihak atau fairness untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam pertanggungjawaban hukum.
Persatuan Indonesia merupakan perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Paham kebangsaan Indonesia ini bukan paham kebangsaan yang sempit (chauvinisme), tetapi paham kebangsaan yang menghargai bangsa lain sesuai dengan sifat kehidupan bangsa yang bersangkutan. Paham kebangsaan ini juga menghargai berbagai nilai-nilai luhur yang dibawa oleh peradaban dunia dan berinteraksi dengan nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Konsepsi pertanggungjawaban  hukum harus sesuai dengan dinamika sosial kultur masyarakat Indonesia dengan semangat nasionalisme yang selalu membina tumbuhnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila keempat dari Pancasila adalah Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Berdasarkan sila ini, maka kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, dalam merumuskan kebijakan hukum nasional termasuk dalam menentukan batasan pertanggungjawaban hukum harus menempatkan posisi rakyat sebagai penentu. Tradisi kebiasaan rakyat dalam bertransaksi dan berinteraksi sosial dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan batasan pertanggungjawaban hukum.
Hal ini juga terlihat dalam tradisi kebersamaan di desa-desa yang terungkap dalam prosedur mengambil keputusan yang ditempuh oleh para sesepuh desa. Mereka mengenal musyawarah, setiap yang hadir di rapat dapat berbicara serta gagasannya didengar oleh orang lain dalam rembug desa. Setelah ditimbang-timbang akhirnya diambil keputusan.[43] Dalam musyawarah juga hanya diikuti yang sudah dapat nyandang gawe artinya yang sudah dewasa.
Hikmat kebijaksanaan mengandung arti adanya penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan jujur, sadar dan bertanggungjawab serta didorong oleh iktikad baik sesuai hati nurani. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban hukum harus didasarkan pada pikiran atau rasio pelaku yang sehat, tidak berada di bawah tekanan pihak manapun.
Permusyawaratan merupakan salah satu ciri khas yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara atau prosedur dengan mengusahakan turut sertanya rakyat untuk mengambil bagian dalam kehidupan bernegara. Pertanggungjawaban hukum dalam hukum nasional harus mencerminkan musyawarah kerakyatan dengan sistem keterwakilan secara demokratis. 
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mencerminkan nilai-nilai keadilan yang harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila keadilan sosial ini merupakan tujuan dari empat sila Pancasila yang mendahului, sebagai tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya ialah tata masyarakat yang adil dan makmur. Makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran.
Dalam menentukan batasan pertanggungjawaban hukum harus mencerminkan nilai keadilan di masyarakat, baik secara distributif maupun subtantif. Kriteria batasan pertanggungjawaban dalam bidang perkawinan belum tentu sesuai dengan kriteria batasan pertanggungjawaban  dalam bidang hukum keperdataan lainnya. Perbedaan kriteria ini dimungkinkan karena nilai kualitas pekerjaan, akibat dan tanggungjawab serta hasilnya tidak sama.

STRATEGI IMPLEMENTASI NILAI LUHUR PANCASILA
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi pola perilaku dan juga tata nilai dalam semua sisi kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh yang ditimbulkan terkadang positif dan juga terkadang negatif bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Indonesia termasuk spirit religiusitas warga masyarakat. Pengaruh ini bergantung pada masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan dan juga mengendalikan diri dari semua dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Penurunan spirit religiusitas warga masyarakat dalam kehidupan beragama membawa dampak negatif atas perjalanan bangsa Indonesia. Korelasi antara religiusitas keberagaman agama dengan tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan  bernegara menunjukkan berbanding terbalik dengan nilai-nilai Pancasila. Kehidupan religiusitas masyarakat ini semakin memburuk dan jauh dari kualitas penghayatan Pancasila,apalagi dengan munculnya konflik-konflik berdimensi agama yang masih sering terjadi di masyarakat. Warga masyarakat lebih mengedepankan emosi dan ego kelompoknya dalam menyikapi segala sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Semangat nasionalisme telah luntur dari jiwa mereka. Jadilah ia sosok manusia yang tidak punya tanggungjawab untuk kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kalau hal ini dibiarkan terus secara jangka panjang  maka akan berdampak pada kehancuran bangsa Indonesia. Kondisi seperti ini mencerminkan implementasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat masih jauh panggang dari api, bahkan masih sangat jauh.
Pemahaman dan penghayatan masyarakat terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung di Pancasila mutlak harus ditingkatkan agar warga masyarakat dapat menjadi warga yang bertanggungjawab atas keberlangsungan dan terwujudnya hakekat pembangunan nasional dan agar bangsa ini tidak semakin terperosok dalam suasana kehidupan yang jauh dari nilai luhur Pancasila yang berakibat pada disintegrasi bangsa.  Oleh karena itu diperlukan semangat yang luar biasa dari para generasi penerus perjuangan bangsa ini untuk terus dan terus menggelorakan Pancasila agar semakin membumi dan menjiwai setiap aktifitas di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa terjadinya pola tata kelakuan warga masyarakat yang kecenderungan untuk menyimpang jauh dari nilai luhur Pancasila disebabkan oleh adanya perubahan dinamika sosial masyarakat karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pemanfaatannya tidak dibarengi dengan aktualisasi nilai-nilai luhur ideologi bangsa yaitu Pancasila. Oleh karena diperlukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan manusia Indonesia Pancasialis sehingga ia menjadi sosok pribadi yang mampu berkarya dengan penuh tanggungjawab.
Langkah strategis implementatif untuk mewujudkan manusia Indonesia yang bertanggungjawab dalam bingkai Pancasila  adalah dengan mengelola perubahan dinamika sosial masyarakat tersebut melalui manajemen pengelolaan perubahan masyarakat. Prinsip dari pengelolaan perubahan masyarakat ini adalah:
Pertama, agar segenap lapisan masyarakat memperoleh pemahaman yang utuh dan berimbang secara proporsional terhadap kandungan nilai-nilai luhur Pancasila. Pemahaman masyarakat yang baik dan utuh ini dapat dilakukan dengan sosialisasi yang terus menerus secara variatif kreatif dan tidak membosankan. Objek sasaran sosialisasi ini adalah segenap anak bangsa yang merupakan aset bangsa Indonesia, lintas segala profesi dan segala umur. Proporsional yang dimaksudkan di sini adalah dalam melakukan kegiatan sosialisasi agar memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat dalam penyerapan materi. Kondisi akademik warga masyarakat akan menentukan model pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam sosialisasi dan juga menentukan tingkat kualitas bahan yang akan dijadikan sebagai materi sosialisasi. Jadi, semua orang yang mengaku sebagai Warga Negara Indonesia akan mendapatkan program sosialisasi yang dikemas secara apik agar tepat sasaran dan bernilai guna maksimal.
Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam melakukan sosialisasi tentang nilai-nilai luhur Pancasila, yaitu:
a)     Aspek pemahaman.  Pemahaman terhadap nilai-nilai luhur Pancasila tidak hanya diperuntukkan bagi warga masyarakat strata sosial tertentu saja, tetapi juga terhadap seluruh stakeholders yang ada. Para pemangku kepentingan apapun yang ada di Indonesia juga harus mempunyai satu pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Perlu adanya pemahaman yang sama terhadap penafsiran nilai-nilai yang terkandung di Pancasila. Terjadinya perbedaan penafsiran yang tajam dalam memahami teks Pancasila kalau tidak dikelola dengan baik justru akan kontra produktif dan berdampak negatif terhadap semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
b)     Aspek kesadaran. Kesadaran diartikan sebagai kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi. Hal ini dimaksudkan bahwa masyarakat diharapkan mampu mengerti, memahami dan menelaah terhadap berbagai peristiwa aktual yang sedang dan atau telah terjadi di lingkungannya. Adanya kesadaran dari peserta sosialisasi diharapkan mereka mampu menjawab problematika yang ada dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai luhur Pancasila dijadikan referensi utama dalam menjawab problematika kehidupan yang dihadapi masyarakat.
c)     Aspek Komitmen. Komitmen dipahami sebagai sebuah penerimaan yang kuat oleh individu terhadap tujuan dan nilai-nilai yang diyakini bersama dalam organisasi (negara), di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut. Penerimaan yang kuat oleh warga masyarakat terhadap nilai-nilai luhur Pancasila merupakan bentuk komitmen warga masyarakat untuk tetap membesarkan bangsa Indonesia. Penerimaan ini kemudian diikuti dengan upaya untuk membangun ke arah perubahan yang positif, sehingga penghayatan pengamalan nilai luhur Pancasila akan menuju pada tingkat kualitas yang lebih baik lagi seiring dengan perkembangan ruang dan waktu.
Kedua, mengurangi resistensi dari masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Permasalahan yang sering muncul  adalah penolakan atas perubahan itu sendiri. Meskipun perubahan ini merupakan perubahan dari yang negatif ke arah positif, perlu dilakukan upaya antisipatif terhadap resistensi masyarakat. Resistensi dapat dilakukan oleh individu pribadi warega masyarakat dan juga oleh kelompok atau organisasi masyarakat tertentu. Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.  Perubahan sosial masyarakat dari tata kelakuan yang negatif atau menyimpang menuju tata kelakuan yang  sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila akan dilakukan secara hati-hati terstruktur dan terarah. Oleh karena itu proses atau tahapan-tahapan dalam menanamkan kembali semangat nasionalisme Pancasialis harus dilakukan dengan strategi yang tepat untuk menekan tingkat resistensi yang kemungkinan muncul.
Untuk menghadapi resistensi yang kemungkinan muncul dalam melakukan usaha perbaikan atau perubahan sosial masyarakat tersebut, maka strategi yang dapat dilakukan diantaranya:
  1. Pendidikan dan komunikasi. Diperlukan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan tata nilai dari yang negatif ke tata nilai luhur Pancasila kepada semua pihak. Dalam melakukan diseminasi Pancasila ini harus diciptakan suasana yang komunikatif dengan semua pihak.
  2. Partisipasi dengan cara mengajak para pihak untuk mengambil keputusan.
  3. Memberikan kemudahan dan dukungan kepada warga masyarakat.
  4. Negosiasi. Hal ini apabila ternyata kelompok yang menentang mempunyai kekuatan yang kuat dan layak untuk dipertimbangkan.
  5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memelintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.
  6. Paksaan dengan hukuman atau sanksi bagi mereka yang menolak. Ini merupakan strategi pilihan terakhir.
Ketiga,  meningkatkan partisipasi dari aparatur pemerintah dan tokoh masyarakat dalam mewujudkan tata kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang baik dan penuh tanggungjawab dalam bingkai Pancasila. Partisipasi memiliki tiga gagasan penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab.  Keterlibatan diwujudkan dalam bentuk mental dan juga emosional. Keteladanan dalam berperilaku dan bersikap yang dilakukan oleh para aparatur negara dan tokoh masyarakat akan sangat penting dalam ikut serta membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya perubahan apapun yang terjadi di masyarakat merupakan hukum alam atau sunnatullah. Semuanya telah terjadi dan ada di hadapan bangsa Indonesia saat ini. Oleh karena itu perubahan tersebut harus dikelola dengan baik agar bangsa Indonesia dapat berubah atau hijrah dari suasana kehidupan sosial masyarakat yang negatif atau ada indikasi jauh dari nilai-nilai Pancasila menuju suasana kehidupan yang dilingkupi oleh nilai-nilai luhur Pancasila sehingga akan tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yaitu negara yang makmur sejahtera lahir bathin yang selalu mendapatkan curahan kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Esa.

PENUTUP
Pancasila sebagai ideologi bangsa mengandung nilai-nilai luhur yang harus diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur Pancasila selaras dengan nilai-nilai ajaran agama, oleh karena itu tidak tepat kalau munculnya resistensi terhadap Pancasila karena berdasarkan ajaran agama tertentu.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pemanfaatannya tidak dibarengi dengan aktualisasi nilai-nilai Pancasila berdampak pada prilaku yang negatif dan berpengaruh terhadap perubahan dinamika sosial masyarakat. Oleh karena diperlukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan manusia Indonesia Pancasialis sehingga ia menjadi sosok pribadi yang mampu berkarya dengan penuh tanggungjawab.
Langkah strategis implementatif untuk mewujudkan manusia Indonesia yang bertanggungjawab dalam bingkai Pancasila  adalah dengan mengelola perubahan dinamika sosial masyarakat tersebut melalui manajemen pengelolaan perubahan masyarakat.

Semarang, 21 November 2013

DR.H.ALI IMRON,S.Ag.,M.Ag











DAFTAR PUSTAKA

A.Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990
A.Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996
Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Politik, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi,  Jakarta: BP-7 Pusat, 1991
AMW Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1985
Deliar Noer, Partisipasi Dalam Pembangunan, Kuala Lumpur: ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), 1977
Drijarkara, Drijarkara Tentang Negara dan Bangsa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, Dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1981, halaman 14
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1988
HM.Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sejati, 2000
Ismail Suny, Jejak-Jejak Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
K.Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981, halaman 21. Juga lihat H.L.A.Hart, Positivism and The Separation of Law and Moral, dalam Law Review, 1958, Oxford University
Karl Mannheim, Ideologi Dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran Dan Politik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991
Khudzaifah Dimyati,  Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997
M Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
M Sastrapratedja, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991
Mubyarto, Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi, dalam buku  Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat,1991
Muhammad Khalid Mas`ud, Islamic Legal Philosify: a Study of Abu Ishaq al Shatibi`s Life and Thought, diterjemahkan oleh Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al Ikhlas, 1995
Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta: Prapanca., t.th.
Muladi, Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1 Nomor 1, April 2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984
P Hardono Hadi, Hakekat Dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994
Padmo Wahjono, Masalah-Masalah Aktual Ketatanegaraan, Jakarta: Yayasan Wisma Djokosutono, 1991
Pipit Seputra, Beberapa Aspek Dari Sejarah Indonesia, Ende: Arnoldus, 1973
Purnadi Purbacaraka cs, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Falsafah Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1991
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Solly Lubis, dkk., Bunga Rampai Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung: Eresco, 1995
Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD `45 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Yogyakarta: BP FE UII, 1981
Theo Huijbers OSC., Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982


[1] DR.H.Ali Imron,S.Ag.,M.Ag adalah Lektor Kepala/dosen pada Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. E-mail: imronmangkang@yahoo.com
[2] Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta: Prapanca., t.th., halaman 437
[3]  Ibid., halaman 448
[4] Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996, halaman 144
[5] Deliar Noer, Partisipasi Dalam Pembangunan, Kuala Lumpur: ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), 1977, halaman 34 - 35
[6] Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984, halaman 58
[7] AMW Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1985, halaman 313-318
[8] Ibid.
[9] Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Yogyakarta: BP FE UII, 1981, halaman 39-40
[10] P Hardono Hadi, Hakekat Dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994, halaman 35
[11] Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD `45 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, halaman 66
[12] lihat Kumpulan Karangan Drijarkara, Drijarkara Tentang Negara dan Bangsa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980, halaman 53
[13] K.Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981, halaman 21. Juga lihat H.L.A.Hart, Positivism and The Separation of Law and Moral, dalam Law Review, 1958, Oxford University, halaman 71
[14] Padmo Wahjono, Masalah-Masalah Aktual Ketatanegaraan, Jakarta: Yayasan Wisma Djokosutono, 1991, halaman 25
[15] Mubyarto, Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi, dalam buku  Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat,1991, halaman 239
[16] M Sastrapratedja, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991, halaman 142 - 143
[17] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1988, halaman 366 - 367
[18] A.Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990, halaman 154
[19] Solly Lubis, dkk., Bunga Rampai Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung: Eresco, 1995, halaman 352
[20] Muladi, Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1 Nomor 1, April 2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, halaman 41
[21] Tidak ada pertentangan nilai luhur yang terkandung di Pancasila dengan syari`at (hukum) agama Islam. M.Natsir dalam tulisannya yang berjudul “Bertentangankah Pancasila dengan al Qur`an” di majalah Mingguan Hikmah tanggal 9 Mei 1954, menguraikan dengan rinci dan membandingkan tiap sila Pancasila dengan ajaran al Quran. Kesimpulannya, mana mungkin Pancasila bertentangan dengan al Qur`an. Baca Islam Di Negara Pancasila: Menghadapi Tantangan Masa Depan  di dalam Ismail Suny, Jejak-Jejak Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, halaman 42-48
[22] Franz Magnis Suseno, Etika... Ibid.
[23] Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Politik, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi,  Jakarta: BP-7 Pusat, 1991, halaman 192
[24] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, halaman 80
[25] Karl Mannheim, Ideologi Dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran Dan Politik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991, halaman 143-145
[26] Kuntowijoyo, Identitas ... Op.Cit., halaman 82-83
[27] Khudzaifah Dimyati,  Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004, halaman 193
[28] Purnadi Purbacaraka cs, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Falsafah Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1991, halaman 45
[29] M Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, halaman  293
[30] Ibid.
[31] Muhammad Khalid Mas`ud, Islamic Legal Philosify: a Study of Abu Ishaq al Shatibi`s Life and Thought, diterjemahkan oleh Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, halaman 253
[32] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, halaman 1139
[33] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, halaman 67
[34] HM.Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sejati, 2000, halaman 10-11
[35] al Quran surat  al Baqarah (2) ayat 30
[36] Theo Huijbers OSC., Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, halaman 150 
[37] A.Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, halaman 48
[38] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, Dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1981, halaman 14
[39] A.Gunawan Setiardja, Dialektika ... Op.Cit., halaman 101-102
[40] N.Driarkora, Percikan Filsafat, Jakarta:PT Pembangunan, 1981, halaman 19
[41] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, halaman 113 - 114
[42] al Quran surat al Maidah (5) ayat 8
[43] Pipit Seputra, Beberapa Aspek Dari Sejarah Indonesia, Ende: Arnoldus, 1973, halaman 75


================================================,
Makalah dalam kegiatan Lokakarya empat pilar Pancasila, diselenggarakan kerjasama IAIN Walisongo dengan MPR RI, Kamis 21 November 2013 di Hotel Horison Semarang