Selasa, 26 November 2013

STATUS HUKUM PROBLEMATIKA KAWIN SIRI



STATUS HUKUM DAN PROBLEMATIKA
NIKAH SIRI DI INDONESIA[1]
Oleh
DR.H.Ali Imron Hs[2]

I. PENDAHULUAN
Akad nikah atau ikatan perkawinan tidak dapat disamakan dengan sebuah ikatan perikatan dalam hukum perdata. Akad nikah merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang menyatakan sebagai suami isteri dan bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah diridlai oleh Allah subhanahu wa ta`ala. Ikatan lahir bathin berarti bahwa hubungan pertalian erat antara suami isteri tersebut tidak hanya dari aspek fisik lahiriyah semata akan tetapi juga adanya ikatan emosional bathiniyyah.
Ikatan perkawinan tidak hanya untuk menghalalkan hubungan biologis (sex) semata, atau tidak hanya untuk mendapatkan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu yaitu untuk membina keluarga yang bahagia penuh cinta kasih, menentramkan jiwa dan berakhir dengan diperolehnya kebahagiaan lahir bathin. Kebahagiaan sebagai wujud manifestasi dari kesejahteraan lahir bathin warga negara merupakan salah satu tujuan Indonesia merdeka dan oleh karena itu Negara berkepentingan untuk melindungi kepentingan warga negaranya, kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta diikuti dengan berbagai peraturan tekhnis di bawahnya.
Perkawinan merupakan syari`at Islam. Rasulullah saw sangat menganjurkan umatnya untuk melangsungkan perkawinan bahkan orang yang tidak senang dengan perkawinan dianggap bukan umatnya. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya aku puasa, berbuka, shalat, tidur dan menikahi wanita. Barang siapa membenci (tidak melaksanakan) nikah berarti ia bukan umatku”.[3] Hadits ini jelas bahwa Islam mensyari`atkan adanya perkawinan sebagai sebuah ibadah. Peraturan perkawinan secara detail dalam ajaran Islam diatur lebih lanjut dalam fiqh munakahat dengan berbagai varian mazhab hukumnya.
Meskipun negara telah mengatur regulasi tentang perkawinan untuk melindungi hak-hak sipil warga negaranya, nampaknya nikah siri masih menjadi alternatif pilihan sebagian masyarakat. Nikah siri ini merupakan nikah problematik. Realitas menunjukkan bahwa nikah siri ini masih banyak dan sering terjadi di masyarakat Indonesia. Berbagai alasan dikemukakan oleh para pelaku nikah siri ini.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji lebih jauh tentang  status hukum nikah siri tersebut dan untuk mengurai problematika yang mengiringinya.

II. PEMBAHASAN
A. Hakekat Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa berarti al jam`u yang artinya menghimpun dan al dzam yang berarti mengumpulkan.[4] Sebutan lain perkawinan adalah  at-tazwij yang terambil dari kata zawwaja yuzawwiju - tazwijan (arab) yang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperisteri.[5]
Terdapat beberapa definisi perkawinan menurut istilah, di antaranya adalah
عقد يتضمن إباحة وطئ بلفظ إنكاح أوتزويج أوترجمته. [6]
Artinya:  Akad yang menjamin bolehnya bersetubuh dengan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahnya.
العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط. [7]
Artinya: Akad yang terkenal dan mengandung beberapa rukun dan syarat.

Di dalam hukum perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin, antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8] Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan perkawinan sebagai suatu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.[9] Dari beberapa definisi tersebut, penulis lebih memilih definisi yang tertuang dalam undang-undang perkawinan.
Dasar hukum disyariatkannya perkawinan adalah ayat-ayat al Quran dan beberapa hadits Nabi saw. Firman Allah swt dalam Al Quran surat an Nisa` ayat 3 yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap( hak-hak) perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, maka  kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah yang lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. [10]
Firman Allah swt dalam surat an Nur ayat 32 yang artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya)”. [11]
Rasulullah  saw. bersabda:
عن ابن مسعود رضي الله تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء. (رواه الجماعة). [12]
Artinya:  Dari ibnu mas’ud ra. berkata; Rasulullah saw bersabda’’ Wahai para kaum muda barang siapa di antara kamu telah mampu akan beban nikah maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu (menikah) maka hendaklah dia rajin puasa karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan nafsu baginya. (HR. Al jama’ah)

Rasulullah  saw. bersabda:
وعن قتادة عن الحسن عن سمرة: ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن التبتل, وقرأقتادة: ولقد ارسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم ازواجا وذرية. (الرعد: ٣٨) (وابن ماجه) [13].

Artinya: Dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah; Sesungguhnya Nabi saw melarang membujang, selanjutnya Qatadah membaca ayat . Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan kepada mereka beberapa istri dan anak cucu. (HR. ibnu majah) 
     
       Para fuqaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari perkawinan menurut pendapat yang terbanyak dari fuqaha imam Syafi’i hukum nikah adalah mubah, menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali hukum nikah adalah sunnah, sedangkan menurut madzhab Dhahiri dan Ibnu Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup.[14] Adapun hukum melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat dan akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di antara para ulama’, bahwa hukum melaksanakan perkawinan ada lima macam yaitu:
a.       Jaiz (boleh), ini asal hukumnya.
b.       Sunat, bagi orang yang berkehendak serta cukup nafkah sandang, pangan, dan lain-lain.
c.       Wajib, bagi orang yang cukup sandang, pangan dan dikhawatirkan terjerumus ke dalam lembah perzinaan.
d.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
e.       Haram, bagi orang yang hendak menyakiti perempuan yang akan dinikahi.[15]
Nilai asasi yang ingin diraih dari perkawinan adalah ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang. Bila ketenangan dan ketentraman mewarnai suasana rumah tangga, maka ia akan menghasilkan manusia unggulan dan terjamin mutu.[16] Hal ini senada dengan firman Allah swt surat Ar-Rum ayat 21 yaitu:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya:  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).[17]

Berdasarkan ayat tersebut, menurut penulis terdapat lima nilai fundamental dalam perkawinan yaitu suami isteri merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (min anfusikum) atau dalam bahasa jawanya sak awak, ketenangan jiwa (litaskunu ilaiha), cinta kasih (mawaddah) yang lebih berorientasi pada pemenuhan nafsu biologis, kasih sayang (rahmah) yang lebih berorientasi pada sifat-sifat kemanusiaan sampai akhir hayatnya, dan arti pentingnya berfikir (yatafakkarun) secara realistis dalam menghadapi problematika kehidupan berumah tangga tidak mengedepankan emosional.
Terdapat banyak fungsi dan tujuan dari perkawinan, di antaranya adalah:
1.      Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar.
2.      Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah.
3.      Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan.
4.      Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan isteri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.[18]
Perkawinan yang berkualitas merupakan harapan para pihak yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan perkawinan tersebut. Suatu perkawinan dianggap berkualitas apabila nilai asasi atau nilai fundamental dalam perkawinan dapat terwujud dalam kehidupan berumah tangga.

B. Pengertian Nikah Siri
Terminologi nikah siri tidak ditemukan di dalam hukum perkawinan maupun dalam fiqh munakahat klasik. Untuk mengetahui pengertian nikah siri ini maka dapat ditelusuri dari pengertian etimologis kata nikah dan kata siri. Kata nikah dapat diidentikkan dengan perkawinan atau pernikahan. Oleh karena itu pengertian kata nikah ini identik dengan pengertian perkawinan atau pernikahan yang lazim terdapat dalam literatur fiqh munakahat maupun hukum perkawinan. Sedangkan kata siri (bahasa arab; jamak asrar) mempunyai pengertian rahasia, sembunyi-sembunyi, misteri, dengan diam-diam, tertutup, dan gundik.[19]
Yang dimaksud dengan nikah siri menurut penulis adalah sebuah akad nikah atau perkawinan yang telah memenuhi segala persyaratan dan rukun nikah, akan tetapi peristiwa perkawinan tersebut tidak dicatatkan di lembaga pencatat perkawinan atau Kantor Urusan Agama (KUA), dan terkadang lebih parah lagi yang mengetahui adanya nikah siri tersebut hanya beberapa orang yang terlibat secara langsung.  Jadi nikah siri juga harus melalui tahapan prosesi akad nikah seperti lazimnya perkawinan pada umumnya, tapi akad nikahnya tidak dicatatkan di lembaga resmi. Orang yang akan melangsungkan nikah siri harus memenuhi berbagai syarat dan rukun sebagaimana telah diatur dalam fiqh munakahat. Yang dijadikan pedoman para pelaku nikah siri hanya literatur kitab-kitab klasik, dan mengabaikan proses administratif sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perkawinan dan peraturan tekhnis di bawahnya. Oleh karena itu pelaku nikah siri tidak mempunyai akta nikah. 
Ada beberapa nama lain dari nikah siri ini yang dikenal di masyarakat, di antaranya adalah kawin siri, nikah syara`, nikah kyai, kawin bawah tangan, kawin diam-diam, kawin rahasia, dan  kawin lari.

C. Status Hukum Nikah Siri Perspektif Fiqh Munakahat dan Hukum Perkawinan
Nikah siri sebagaimana yang dimaksudkan dalam pengertian tersebut di atas pada prinsipnya sama dengan perkawinan pada lazimnya. Ketika melangsungkan nikah siri, semua syarat rukun perkawinan harus telah dipenuhi. Calon suami, calon isteri, wali, ijab qabul, dan para saksi telah dipersiapkan dan telah memenuhi persyaratan subtantif syari`at Islam. Di dalam syari`at Islam, pencatatan perkawinan oleh petugas tidak termasuk syarat rukun perkawinan. Oleh karena itu menurut penulis, ada atau tidak adanya pencatatan perkawinan tidak mempengaruhi sah atau tidak sah suatu perkawinan. Sah atau tidak sah perkawinan hanya diukur dari aspek terpenuhinya syarat rukun subtantif perkawinan yang meliputi calon suami, calon isteri, wali, ijab qabul, dan dua orang saksi. Nikah siri yang telah memenuhi syarat rukun subtantif nikah maka status hukumnya adalah sah. Apabila di kemudian hari diadakah pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) maka tidak memerlukan lagi akad nikah yang baru.
Perkawinan merupakan sebuah peristiwa hukum dan oleh karena itu pencatatan perkawinan mempunyai arti yang sangat penting untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan permasalahan yang akan muncul di kemudian hari. Meskipun secara tektual tidak ada ketentuan pencatatan perkawinan dalam nash al Quran atau hadits, pencatatan perkawinan ini dapat diqiyaskan dengan pencatatan transaksi utang piutang (dain) sebagaimana terekam dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 282 (faktubuh, wal yaktub bainakum katibun bil `adl).
Tujuan pencatatan perkawinan juga untuk mewujudkan kemaslahatan bagi para pihak yang terlibat dalam perkawinan serta anak-anak juga keluarga mereka dan  menghindari mafsadat (kemungkinan terburuk) minimal berupa fitnah. Maslahat dan mafsadat pencatatan perkawinan ini bersifat personal dan relatif tergantung situasi dan kondisi yang bersangkutan. Berdasarkan kaidah ushul fiqh dar`ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashalih (menghindari kemungkinan terburuk yang menyebabkan kerusakan harus didahulukan dari pada menarik maslahat), maka para pelaku perkawinan harus berfikir secara jernih dan bertanggungjawab untuk tidak mencatatkan perkawinan mereka. Jadi, menurut penulis pencatatan perkawinan harus dilaksanakan dan hukumnya wajib meskipun tidak mempengaruhi sahnya perkawinan.
Pelaku nikah siri tidak memerlukan dokumen-dokumen kelengkapan administratif dari kelurahan, kecamatan atau Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Yang menjadi ciri khas utama nikah siri adalah tidak adanya pencatatan nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan tidak ada bukti administratif yang autentik telah terjadinya perbuatan hukum berupa perkawinan. Oleh karena itu para pelaku nikah siri tidak mempunyai akta nikah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah terhadap perkawinan mereka. Di hadapan hukum mereka akan kesulitan untuk membuktikan kalau mereka telah menikah. Karena adanya kesulitan pembuktian seperti ini maka akan memunculkan fitnah kepada para pelaku, keluarga dan juga anak-anak yang dilahirkan dari nikah siri tersebut. Pembuktian perkawinan ini juga diperlukan dalam pengurusan dokumen administrasi kependudukan setiap warga negara.
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Berdasarkan ketentuan ini maka nikah siri yang telah memenuhi syarat rukun sebagaimana diatur dalam fiqh munakahat maka perkawinan mereka adalah sah menurut ajaran agama dan juga sah menurut undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Pencatatan perkawinan merupakan aturan yang sifatnya administratif, dan tidak ada sanksi hukum bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga akan merugikan para pihak yang berkepentingan apabila diperlukan bukti-bukti administratif telah terjadinya perkawinan tersebut di kemudian hari.

D. Beberapa Faktor Penyebab dan Problematika Nikah Siri
Terjadinya nikah siri di masyarakat merupakan sebuah fenomena atau realitas sosial dan tentu ada alasan-alasan atau motifasi dari para pelakunya. Di antara alasan-alasan para pelaku melakukan nikah siri ini, menurut penulis antara lain adalah pertama para pelaku nikah siri tidak bisa atau kesulitan memenuhi persyaratan administratif yang disyaratkan oleh undang-undang perkawinan atau peraturan tekhnis di bawahnya. Misalnya calon mempelai yang belum mencapai usia batas syarat nikah yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.[20] Setelah melakukan upaya dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) tidak berhasil, kemudian mereka melakukan nikah siri sebagai alternatif terakhir. Ada juga yang karena menunggu proses cerai di Pengadilan Agama (PA) yang berlarut-larut[21], nikah siri menjadi alternatif ketika akan melangsungkan perkawinan lagi.
Kedua, para pelaku nikah siri terbentur dengan persyaratan administratif atau aturan kepegawaian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, POLRI, pegawai perusahaan swasta tertentu atau pensiunan. Para pelaku (janda atau duda pensiunan) sengaja menyembunyikan perkawinan mereka (dengan nikah siri) agar tunjangan pensiun tidak berhenti.  Para pelaku juga menyembunyikan perkawinan mereka (dengan nikah siri) agar mereka tidak dikeluarakan dari perusahaan tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Nikah siri sebagai ’penyelamat’ keadaan yang amat darurat.
Ketiga, nikah siri sebagai penutup aib yaitu untuk menutupi rasa malu di masyarakat karena ternyata diketahui anak gadisnya sudah hamil terlebih dahulu, atau mungkin sudah terlanjur melahirkan. Orang tua atau wakilnya biasanya menginformasikan ke masyarakat (ketika ada upacara walimah arus) bahwa anaknya sudah nikah siri beberapa bulan yang lalu, dan sekarang baru sempat mengurus administratif perkawinan di KUA setempat.
Keempat, nikah siri sebagai alternatif poligami untuk ’mengamankan’ bangunan rumah tangga dengan isteri sebelumnya. Bangunan rumah tangga dengan isteri terdahulu akan tetap kokoh dan aman, sementara suami kawin lagi dengan wanita idamannya dengan cara nikah siri tanpa diketahui oleh isteri atau keluarga isteri terdahulu. Jadi nikah siri dijadikan sebagai alternatif pahlawan penolong bagi mereka yang suka poligami dengan memiliki isteri simpanan[22] yang sah menurut agama. 
Kelima, nikah siri sebagai upaya tindakan prefentif untuk menghindari dosa atau zina bagi para pasangan muda mudi yang sedang berpacaran. Di suatu daerah tertentu yang ajaran atau keyakinan agamanya sangat kuat, ketika ada khitbah (lamaran) biasanya ada yang langsung menikahkan anak mereka dengan cara nikah siri terlebih dahulu. Mereka takut kalau anak mereka terjerumus dosa, dan beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian baru dilangsungkan ’perkawinan negara’ atau ’perkawinan resmi’. 
Terdapat beberapa dampak negatif (mafsadat) yang diakibatkan oleh nikah siri. Di antara dampak negatif tersebut adalah anak yang dilahirkan dari nikah siri akan menjadi korban. Permasalahan anak yang dilahirkan dari nikah siri ini di antaranya adalah  pertama, biasanya anak tersebut menemukan kesulitan dalam pengurusan dokumen administrasi kependudukan. Kedua, tidak adanya jaminan terpenuhinya hak-hak sipil sebagai anak. Ketiga, secara keperdataan anak tersebut hanya mempunyai nasab kepada ibu atau keturunan ibu, meskipun secara syar`i anak tersebut mempunyai bapak. Jadi status anak tersebut dianggap sebagai anak dari seorang ibu yang tidak mempunyai suami.[23]
Wanita yang dinikah siri juga terkadang menjadi korban. isteri tidak mendapatkan perlindungan hukum atas status perkawinan mereka, apabila hak-hak isteri diabaikan oleh suami maka ia tidak dapat memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum. Isteri yang dinikah siri akan sangat terpukul apabila ternyata suaminya tidak bertanggungjawab dan hanya ’menikmati sesaat’ atas perkawinan mereka, habis manis sepah dibuang. Belum lagi status isteri yang diceraikan dari nikah siri ini. Secara lahiriyah sudah tidak gadis lagi atau janda, tetapi ia tidak mempunyai bukti pernah melangsungkan perkawinan atau sudah cerai.   
Dari beberapa paparan tersebut di atas, nampak jelas bahwa nikah siri merupakan perkawinan yang problematik dan dampak negatifnya sangat besar meskipun diakui ada juga nilai positif atau maslahatnya sebagaimana telah dipaparkan di atas.

III. PENUTUP
Nikah siri masih banyak dan sering terjadi di masyarakat. Hukum perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang status hukum nikah siri. Nikah siri yang telah memenuhi semua syarat rukun perkawinan dalam fiqh munakahat hukumnya adalah sah. Hukum perkawinan menekankan arti pentingnya pencatatan perkawinan sebagai sebuah alat bukti peristiwa hukum dan bersifat administratif. Pencatatan perkawinan ini akan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan dan juga anak dan keluarga.
Terjadinya nikah siri akan menimbulkan problematika bagi para pelakunya dan keluarganya, baik problematika hukum maupun problematika sosial. Terdapat nilai positif dan negatif pada kawin siri tersebut. Harus dipertimbangkan aspek maslahat dan madlarat agar nikah siri tersebut tidak menyimpang dari tujuan disyari`atkannya perkawinan.
Wallahu a`lam

[[[[()]]]]





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1996
Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Saurah, Jami’us Shahih Sunan At Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, tth.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:  UU Press, 2004
Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984
Kompilasi Hukum Islam.
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut: Darul Fikr, tth.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Muhammad As Syaukani, Nail Al Authar, Jilid III, Beirut: Dar al Fikr, 1994
Muhammad Asy  Syaukani, Nail Al Ahtar, Beirut: Daar Al- Qutub Al-Arabia, Juz IV,1973
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz II, Indonesia: Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah  Al-Qur’an, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978








Abstrak
Perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau yang dikenal dengan kawin siri mengundang pro dan kontra. Pelaku kawin siri mempunyai berbagai ragam motivasi yang berbeda satu dengan lainnya. Kawin siri ini masih banyak dan sering terjadi di masyarakat.
Hukum perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang status hukum kawin siri. Hukum perkawinan menekankan arti pentingnya pencatatan perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum. Pencatatan perkawinan ini mempunyai arti penting terhadap berbagai peristiwa yang ditimbulkan sebagai akibat adanya perkawinan baik administrasi kependudukan maupun jaminan hak-hak keperdataan bagi para pihak yang berkepentingan.
Terjadinya kawin siri akan menimbulkan problematika bagi para pelakunya dan keluarganya, baik problematika hukum maupun problematika sosial. Meskipun demikian terdapat nilai positif dan negatif pada kawin siri tersebut. Oleh karena itu harus dipertimbangkan aspek maslahat dan madlarat agar perkawinan siri tersebut sesuai dengan tujuan disyari`atkannya perkawinan.

Kata kunci: Hukum Perkawinan, Kawin Siri



[1] Makalah disampaikan dalam Studium General Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo, tanggal 30 September 2010 di Aula II Kampus III  IAIN Walisongo
[2] DR.Ali Imron Hs,M.Ag, dosen Hukum Perdata Islam Indonesia (HPII) pada Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang. E-mail: imronmangkang@yahoo.com
[3] Muhammad As Syaukani, Nail Al Authar, Jilid III, Beirut: Dar al Fikr, 1994, hal. 209
[4] Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz II, Indonesia: Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth, hlm.36.
[5] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 43.
[6] Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut: Darul Fikr, tth, hlm. 373.
[7] Taqiyuddin Abi Bakar, loc. cit. 
[8] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[9] Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
[10] Yayasan Penyelenggara Penterjemah  Al-Qur’an, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 115.
[11]Ibid, hlm. 549. 
[12] Muhammad Asy  Syaukani, Nail Al Ahtar, Beirut: Daar Al- Qutub Al-Arabia, Juz IV,1973, hlm. 171.
[13] Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Saurah, Jami’us Shahih Sunan At Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, tth, hlm. 467.
[14] Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 3-4.
[15] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:  UU Press, 2004 hlm. 14.
[16]  Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 26.
[17] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, op.cit., hlm. 644.
[18] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1996, hlm. 1329.
[19] Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984, hal. 667-668
[20] Lihat ketentuan Pasal  7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
[21] Sebelum ada putusan cerai dari PA, pihak suami atau isteri sudah meyakini bahwa thalak pada hakekatnya sudah jatuh sekian bulan yang lalu (thalak kinayah atau sharih) terhitung sejak suami menyatakan thalak, dan telah lewat masa iddahnya bagi wanita.
[22] Dalam fiqh munakahat, suami yang akan berpoligami tidak memerlukan syarat persetujuan dari isteri sebelumnya.
[23] Dalam konteks perlindungan anak, maka pelaku kawin siri yang melahirkan anak dan mengakibatkan penelantaran anak sehingga anak menderita fisik, mental maupun sosial dapat dipidana 5 tahun. Lihat ketentuan Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar