IMPLEMENTASI KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
DALAM BINGKAI PANCASILA
Oleh:
Ali Imron[1]
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia secara keseluruhan sudah bersepakat untuk
kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Konsensus ini
ditetapkan dalam Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966 dan terus menerus dikukuhkan
kembali setiap kali ada sidang MPR.
Pancasila merupakan lima sila yang berisi nilai-nilai dasar
yang menjiwai setiap gerakan untuk mewujudkan
tujuan dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengembangan atas nilai-nilai
dasar Pancasila dilaksanakan secara kreatif dan dinamis dengan
memperhatikan tingkat kebutuhan serta perkembangan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, nilai-nilai dasar Pancasila perlu dioperasionalkan yaitu dijabarkan dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai dasar
Pancasila sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 dijabarkan menjadi nilai instrumental, dan
penjabaran atas nilai instrumental ini tetap mengacu pada nilai dasarnya dan
dari nilai instrumental menjadi nilai praktis.
Perkembangan
dinamika sosial masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang mendasar
sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah memberikan andil yang cukup signifikan terhadap proses perkembangan
sosial masyarakat Indonesia tersebut. Agar perubahan sosial masyarakat tersebut
dapat terarah dengan baik maka perlu ada gerakan-gerakan yang terstruktur untuk
terus membumikan nilai-nilai luhur Pancasila di tengah kehidupan masyarakat.
Perubahan
sosial masyarakat juga berdampak pada sikap perilaku masyarakat dalam memahami
dan mengimplementasikan sistem hukum yang diberlakukan di Indonesia. Masyarakat
perlu mendapatkan pencerahan tentang konsep pertanggungjawaban hukum dalam
bingkai Pancasila. Oleh karena itu perlu ada strategi yang jitu dalam
mengimplementasikan konsep-konsep hukum yang Pancasilais terhadap segenap
lapisan masyarakat.
Tulisan
ini bermaksud untuk mengkaji tentang Pancasila sebagai asas pengikat bathin
manusia Indonesia, konsep pertanggungjawaban hukum dalam bingkai Pancasila, dan
strategi implementasi nilai luhur Pancasila.
PANCASILA: ASAS PENGIKAT BATHIN MANUSIA
INDONESIA
Kata Pancasila, menurut Muhammad Yamin berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti
lima batu karang atau lima prinsip moral.[2] Perkataan Pancasila
terdapat dalam buku Negara Kertagama karya Empu Prapanca, seorang penulis dan penyair istana, sebagai sebuah catatan
sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478 M). Akan tetapi term
Pancasila diberi muatan dan makna baru oleh Soekarno. Menurut Muhammad Yamin, Pancasila adalah
hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila adalah
warisan sosio historis Indonesia yang kemudian dirumuskan dalam lima prinsip.[3] Syafii Maarif
senada dengan uraian Muhammad Yamin tersebut.[4] Nilai-nilai rohaniyah
yang bersifat ideologi yang ada di Indonesia, seperti nasionalisme, sosialisme
dan Islam turut mengisi, memelihara dan memperkaya Pancasila.[5]
Notonagara[6] dan Pranaka[7] mengemukakan posisi
Pancasila sebagai ideologi kebangsaan mengalami perkembangan yang signifikan dan mendapatkan kemantapan
dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali
UUD 1945. Pengembangan
pemikiran tentang Pancasila dimungkinkan oleh adanya anggapan bahwa Pancasila
merupakan wadah di mana berbagai aliran ideologi merasa terpanggil dan berhak
untuk memberikan interpretasi tentang muatan Pancasila.
Perkembangan karir Pancasila mencakup tiga hal, yaitu:
1) Kebangsaan, yang selanjutnya menjadi dasar negara, sumber
hukum dan ideologi nasional.
2) Wadah (fungsi) dan isi (substansi).
3) Perkembangan pemikiran tentang Pancasila dibentuk oleh pertemuan dan interaksi antara
berbagai aliran ideologi yang ada di Indonesia.[8]
Menurut Sunoto[9] dan Hardono[10], ajaran Pancasila tersusun secara harmonis dalam suatu sistem
filsafat. Dikatakan harmonis mengandung pengertian bahwa masing-masing sila
tersusun secara selaras, serasi, dan seimbang sehingga tidak ditemukan
ketimpangan di antara sila-sila yang termuat dalam Pancasila. Keharmonisan
Pancasila berada dalam sistem filsafat artinya masing-masing sila itu merupakan
suatu rangkaian yang dapat diuji kebenarannya melalui filsafat.
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah
ideologi nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila dapat
diartikan sebagai suatu konsensus mayoritas warga negara tentang nilai-nilai dasar yang ingin
diwujudkan dalam mendirikan negara. Dalam hal ini sering juga disebut Philosofische
Grondslag atau Weltanschauung yang merupakan
pikiran-pikiran terdalam atau hasrat terdalam warga negaranya untuk diatasnya
didirikan suatu negara.[11] Drijarkara senada
dengan uraian tersebut.[12]
Pancasila juga merupakan grundnorm. Hal ini
senada dengan teori Hans Kelsen tentang grundnorm sebagai dasar atau
asas yang paling dalam pada setiap hukum
dan mengikat manusia secara batin. Teori Hans Kelsen ini
berseberangan dengan teori Hart (1907) yang mengatakan bahwa hukum itu jauh
dari moral dan ethik. Sesuatu bisa saja sah menurut hukum
walaupun berdasarkan nilai-nilai batin masyarakat mencerminkan jauh dari rasa
keadilan.[13]
Sebagai ideologi, Pancasila dapat dipahami sebagai konsekwensi dari
pandangan hidup bangsa, falsafah bangsa, dan berupa seperangkat tata nilai yang
dicita-citakan untuk direalisir. Pancasila digunakan untuk memberikan
stabilitas arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak
menuju tujuan masyarakat berbangsa.[14] Pancasila mengandung sejumlah doktrin,
kepercayaan dan simbol-simbol sekelompok masyarakat atau satu bangsa yang
menjadi pegangan dan pedoman karya (atau perjuangan) untuk mencapai tujuan
masyarakat atau bangsa.[15] Dalam hubungan ini,
fungsi penting ideologi antara lain adalah untuk membentuk identitas kelompok
atau bangsa dan fungsi mempersatukannya.[16] Ideologi dipahami sebagai nilai-nilai dan cita-cita luhur.[17]
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan
manusia yang dibuat oleh kekuasaan yang sah, bukan
hanya berupa keputusan melainkan juga dalam pelaksanaannya sesuai dengan
ideologi bangsa yang bersangkutan, sebagai pengayom bangsa, yang institusional,
berdasarkan hukum alam. Artinya, pengakuan martabat manusia sebagai pribadi
dengan kemungkinan untuk pengembangan dirinya.[18] Karena Indonesia telah memilih
negara hukum (welfare state) sebagai bentuk negara,
maka setiap tindakan dan akibatnya yang dilakukan oleh pihak harus didasarkan
dan diselesaikan menurut hukum.[19] Secara tidak
langsung, semua hal akan disandarkan kepada Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Hukum sebagai instrumen perjuangan
demokratisasi, menurut Muladi[20], maka proses
pembuatan hukum (law making procces), proses
penegakan (law enforcement procces), dan
kesadaran hukum (law awareness) diharapkan dapat
menggunakan Pancasila sebagai screening board dalam
pelembagaan nilai-nilai universal dan domestik menjadi nilai-nilai yang diakui
secara nasional.
Bila dibandingkan dengan agama,[21] yang berfungsi
mempersatukan orang dari berbagai pandangan bahkan dari berbagai ideologi, maka
sebaliknya ideologi mempersatukan orang-orang dari berbagai agama. Ideologi juga berfungsi untuk mengatasi berbagai
konflik atau ketegangan sosial menjadi solidarity making dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam
tata nilai yang lebih tinggi.[22]
Kekuatan suatu ideologi, termasuk Pancasila, tergantung pada kualitas tiga dimensi yang
ada pada ideologi itu sendiri[23], yaitu:
1)
Dimensi realita,
yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi tersebut secara
riil berakar di dalam dan atau hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama
karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya (menjadi volkgeist/
jiwa bangsa).
2)
Dimensi idealisme,
yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang
memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam
praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
3)
Dimensi
fleksibilitas / pengembangan, yaitu ideologi tersebut memiliki keluwesan yang
memungkinkan dan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan
dengan ideologi yang bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakekat
atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Secara politis, menurut Kuntowijoyo[24], Pancasila sampai sekarang tetap efektif sebagai ideologi
yang mempersatukan Indonesia namun belum efektif sebagai ideologi ekonomi,
sosial, maupun budaya. Hal ini
dikarenakan Pancasila masih dipahami sebagai sebuah mitos dari pada ideologi.
Kendati demikian, menurut Karl Mannheim, pada kondisi
kritis yang terjadi pada tahun 1965, mitos lebih efektif dari pada ideologi
sebab mitos bertumpu pada kepercayaan sedangkan ideologi bertumpu pada
intelektualitas. Namun dalam kondisi normal mitos akan lumpuh dan tidak
berdaya. Mitos lebih subjektif dan irasional mistifikatif sedangkan ideologi
lebih objektif dan rasional dialektis.[25] Dengan demikian
sebagai ideologi, Pancasila dituntut untuk tetap pada jati dirinya baik ke
dalam maupun ke luar. Ke dalam, Pancasila harus konsisten, koheren dan
koresponden. Ke luar, Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring
kepentingan horisontal maupun fertikal.[26]
Sebagai tolak ukur kebenaran dalam penjabaran
nilai dasar Pancasila adalah kebersamaan, persatuan dan kesatuan.
Dalam kaitan ini adanya gagasan-gagasan dari perorangan maupun kelompok
golongan disalurkan hingga menjadi kesepakatan bersama, baik secara formal
maupun informal, yang dalam era Orde Baru dikenal dengan istilah Konsensus Nasional.
Dalam perspektif paham negara hukum dan falsafah hidup bangsa Indonesia, kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat diletakkan dalam posisi seimbang.[27] Tolak ukur demikian
ini digunakan mengingat kehidupan dalam alam Pancasila sarat dengan kehidupan yang dilandasi oleh
adanya dialog, musyawarah dan mufakat.
Bangsa Indonesia tidak apriori menolak atau apriori menerima budaya asing yang masuk ke Indonesia. Yaitu sepanjang
budaya tersebut tidak bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia, dan
sebaliknya akan memperkaya serta memperkuat atau memantapkan budaya yang telah
ada, yang sudah barang tentu untuk dapat diterima harus melalui proses
penilaian dan penyaringan dengan tolak ukur budaya bangsa Indonesia sendiri
yaitu Pancasila.
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DALAM BINGKAI
PANCASILA
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sesuai dengan tujuan
hukum atau peraturan yaitu untuk keadilan
dan kemaslahatan manusia, selaku subjek
hukum, dalam segala aspek tata kehidupannya, maka
segala ketentuan yang ada di dalam peraturan tersebut juga harus mencerminkan
nilai filosofi dari kalimat keadilan dan
kemaslahatan tersebut. Rumusan pertanggungjawaban hukum juga harus
disesuaikan dengan nilai filosofi keadilan dan kemaslahatan masyarakat
Indonesia dalam bingkai Pancasila.
Nilai yang di dalam bahasa Inggris disebut value adalah termasuk dalam wilayah pengertian
filsafat. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto[28] mengemukakan bahwa pada hakekatnya nilai
adalah sesuatu yang diinginkan (positif) atau juga sesuatu yang tidak
diinginkan (negatif). Menilai dapat berarti menimbang dan memperbandingkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan.
Hasil pertimbangan dan perbandingan yang dibuat itulah yang disebut nilai.
Penilaian baik atau buruk menggunakan pendekatan
filsafat. Oleh karena itu, menurut Amin Abdullah[29], dalam memberikan penilaian juga memandang
sistem etika sebagai cermin pola berfikir. Ada keterkaitan erat antara etika dan sistem atau pola berfikir yang
dianut oleh pribadi, kelompok atau masyarakat.
Sesuatu keputusan
dapat mengatakan benar atau salah, religius atau tidak religius, dan sebagainya yang berkaitan dengan unsur-unsur yang ada pada
manusia yaitu jasmani, kepercayaan, cipta, rasa dan
karsa. Maka sesuatu dapat dikatakan mempunyai nilai yaitu apabila sesuatu itu
berguna atau bermanfaat, benar (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik
(nilai moral ethis), religius (nilai agama).[30]
Pertanggungjawaban hukum melekat pada pribadi seorang manusia. Menurut as Syatibi[31], pertimbangan utama
yang dipakai untuk menganalisisnya adalah qudrah (kemampuan) dan masyaqqat
(kesulitan). Qudrah merupakan unsur esensial dalam kewajiban
hukum, dan oleh karenanya kewajiban apapun yang berada di luar kemampuan
manusia yang wajar adalah tidak valid.
Kata tanggung jawab menurut bahasa berarti 1) keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya); 2) fungsi menerima pembebanan,
sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. Kata bertanggungjawab
mempunyai pengertian 1) berkewajian menanggung, memikul tanggung jawab; 2)
menanggung segala sesuatunya. Kata mempertanggungjawabkan mempunyai pengertian
memberikan jawab dan menanggung segala akibatnya (kalau ada kesalahan).[32]
Berdasarkan sila pertama Pancasila yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut penulis, manusia Indonesia harus
meyakini bahwa Tuhan adalah Dzat Penciptanya dan juga menciptakan alam semesta
beserta isinya. Negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk
memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Pasal 29 UUD 1945 menyebutkan:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.[33]
Kemerdekaan yang diberikan oleh Negara kepada
penduduk Indonesia tidaklah bersifat mutlak tanpa batas-batas
tertentu, akan tetapi kemerdekaan
penduduk tersebut dibatasi oleh ajaran agama dan kepercayaannya
masing-masing. Semua aktifitas warga masyarakat harus senantiasa berada di
bawah rambu-rambu ajaran agama dan kepercayaannya.
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai
kesempurnaan penciptaan (ahsani taqwim).[34] Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
mempunyai bentuk yang sempurna, dan paling sempurna dibandingkan dengan makhluk
lain, baik dilihat dari segi fisik maupun psikis dan ia dipercaya
oleh Tuhan untuk mengelola jagad raya (khalifatullah fil ard).[35] Sebagai hamba
Tuhan, ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
Pertanggungjawaban hukum tidak hanya sebatas di muka bumi ini,
tetapi ia juga akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya kelak di
akhirat. Menurut Huijbers[36], hukum pada prinsipnya mempunyai
nilai-nilai transendental. Nilai-nilai transendental hukum berada pada
pertanggungjawaban hukum.
Menurut Qodri Azizy[37], perlu ada keseimbangan antara amaliah
(perbuatan) keduniaan dan amaliah keakhiratan. Dan yang lebih penting lagi
bahwa al dunya mazra`at al
akhirat yang artinya dunia
adalah tanaman yang buahnya nanti akan dituai di akhirat kelak. Apabila
seseorang telah meyakini bahwa semua prilakunya di dunia akan dituai atau
dipetik buahnya di akhirat kelak, maka ia akan menjadi orang yang
bertanggungjawab atas semua perbuatannya.
Hal ini senada
dengan firman Allah di dalam al Quran surat al Isra (17) ayat 36 yang artinya “dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”.
Sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kelemahan-kelemahan baik yang
berupa fisik maupun psikis (khuliqa al insaanu dha`ifa). Oleh karenanya pertanggungjawaban
hukum atas diri manusia juga bergantung kepada kemampuan yang dimiliki oleh
manusia. Firman Allah di al Quran surat al Nisa (4) ayat 28 yang artinya Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Syari`at atau
ajaran Tuhan senantiasa mempertimbangkan kemampuan dan kesanggupan makhluknya (la
yukallifu Allah nafsan illa wus`aha). Ini berarti bahwa manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam
upaya untuk memenuhi kewajibannya yaitu melaksanakan syari`at atau hukum. Oleh
karena itu pertanggungjawaban dalam hukum juga merupakan wujud ikhtiyar
ketaatan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kaitannya dengan sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan
beradab, artinya manusia sebagai
subjek hukum mempunyai potensi fikir, rasa, karsa dan
cipta. Potensi kemanusiaan ini
dimiliki oleh semua manusia sebagai anugerah Tuhan, tanpa memandang ras,
keturunan dan warna kulit serta bersifat universal. Karena potensi yang dimiliki oleh manusia
inilah sehingga ia ditempatkan sebagai makhluk Tuhan yang berkedudukan dan
bermartabat yang tinggi (insan naatiq). Dalam ilmu mantiq (logika), manusia dirumuskan sebagai hayawanun natiqun
artinya hewan yang bisa berkata-kata dan mengeluarkan pendapat dengan
berdasarkan pikiranya.[38] Dengan akal budinya manusia menjadi berbudaya, dan dengan
nuraninya manusia menyadari akan nilai-nilai dan norma-norma sehingga
manusia menjadi bermoral.
Moral dibedakan menjadi dua[39], yaitu moral obyektif dan moral subyektif. Sumber moral obyektif adalah kodrat
manusia atau manusia sebagai pribadi yang mempunyai
budi sehingga mengenal Tuhan Pencipta dan sumber kebahagiaan. Sumber moral
subyektif adalah suara batin atau suara hati sebagai kesadaran moral dalam bentuknya yang konkrit. Baik dan
buruk tidak disandarkan kepada manusia seniman, manusia olah ragawan, manusia
ilmuwan. Tetapi baik dan buruk dalam kaitannya moral disandarkan kepada manusia
sebagai manusia. Dalam bahasa jawa disebut ‘rasa rumangsaning ati’.[40]
Pertanggungjawaban hukum dipengaruhi oleh kemampuan manusia dalam memahami dan menyadari nilai-nilai dan
norma-norma tersebut. Manusia dianggap cakap melakukan tindakan hukum apabila akal budi dan nuraninya dalam kondisi yang ideal sebagai
makhluk Tuhan yang sempurna. Kurang berfungsinya akal budi dan hilangnya nurani
menandakan bahwa ia telah kehilangan status kemanusiaannya yang utuh. Oleh karena itu ia
masuk kategori tidak cakap atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Prinsip kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang
adil yang langsung dirangkaikan dengan kata beradab. Sifat adil itu sangat
dekat dengan sifat ketaqwaan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (tauhid), maka secara empirik, keadilan juga
sangat berdekatan dengan keadaban (civility). Dengan sendirinya sifat
berkeadilan dan berkeadaban merupakan konsekuensi logis dari tingginya kualitas
ketaqwaan warga suatu masyarakat. Peradaban tidak mungkin tumbuh dalam struktur
sosial yang tidak berkeadilan. Jika struktur sosial timpang, maka di dalamnya
akan terjadi penindasan antar sesama manusia. Akibatnya,
perkembangan peradaban masyarakat atau bangsa yang bersangkutan tidak dapat
tumbuh secara sehat.[41]
Perasaan benci dan
saling bermusuhan akan menyebabkan lunturnya nilai peradaban umat manusia. Munculnya rasa
kebencian akan berpengaruh terhadap sikap keadilan seseorang. Dan oleh karena
itu apabila nilai-nilai keadilan luntur disebabkan oleh rasa permusuhan dan kebencian[42] maka peradaban
manusia semakin terkikis habis dari muka bumi ini. Adanya prinsip objektivitas
atau tidak subjektif, prinsip tidak pilih kasih atau non favoritisme dan anti
nepotisme, prinsip tidak berpihak atau fairness untuk mewujudkan nilai-nilai
keadilan dalam pertanggungjawaban hukum.
Persatuan Indonesia merupakan perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Paham kebangsaan
Indonesia ini bukan paham kebangsaan yang sempit (chauvinisme), tetapi paham
kebangsaan yang menghargai bangsa lain sesuai dengan sifat kehidupan bangsa yang bersangkutan. Paham
kebangsaan ini juga menghargai berbagai nilai-nilai luhur yang dibawa oleh
peradaban dunia dan berinteraksi dengan nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa
Indonesia. Konsepsi pertanggungjawaban hukum harus sesuai dengan dinamika sosial kultur
masyarakat Indonesia dengan semangat nasionalisme yang selalu membina
tumbuhnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila keempat dari Pancasila adalah Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Berdasarkan sila ini, maka
kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, dalam
merumuskan kebijakan hukum nasional termasuk dalam menentukan batasan pertanggungjawaban
hukum harus menempatkan posisi rakyat sebagai penentu. Tradisi kebiasaan rakyat
dalam bertransaksi dan berinteraksi sosial dijadikan sebagai pedoman untuk
menentukan batasan pertanggungjawaban hukum.
Hal ini juga
terlihat dalam tradisi kebersamaan di desa-desa yang terungkap dalam prosedur
mengambil keputusan yang ditempuh oleh para sesepuh desa. Mereka mengenal
musyawarah, setiap yang hadir di rapat dapat berbicara serta gagasannya
didengar oleh orang lain dalam rembug desa. Setelah ditimbang-timbang akhirnya
diambil keputusan.[43] Dalam musyawarah
juga hanya diikuti yang sudah dapat nyandang gawe artinya yang sudah dewasa.
Hikmat kebijaksanaan
mengandung arti adanya penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan
dilaksanakan dengan jujur, sadar dan bertanggungjawab serta didorong oleh
iktikad baik sesuai hati nurani. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban hukum
harus didasarkan pada pikiran atau rasio pelaku yang sehat, tidak berada di
bawah tekanan pihak manapun.
Permusyawaratan
merupakan salah satu ciri khas yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Perwakilan adalah
suatu sistem dalam arti tata cara atau prosedur dengan mengusahakan turut
sertanya rakyat untuk mengambil bagian dalam kehidupan bernegara. Pertanggungjawaban hukum dalam hukum nasional
harus mencerminkan musyawarah kerakyatan dengan sistem keterwakilan secara
demokratis.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mencerminkan nilai-nilai keadilan yang harus
ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila keadilan sosial ini
merupakan tujuan dari empat sila Pancasila yang mendahului, sebagai tujuan bangsa
Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya ialah tata masyarakat yang adil
dan makmur. Makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran.
Dalam menentukan
batasan pertanggungjawaban hukum harus mencerminkan nilai keadilan di
masyarakat, baik secara distributif maupun subtantif. Kriteria batasan
pertanggungjawaban dalam bidang perkawinan belum tentu sesuai dengan kriteria
batasan pertanggungjawaban dalam bidang hukum keperdataan lainnya.
Perbedaan kriteria ini dimungkinkan karena nilai kualitas pekerjaan, akibat dan
tanggungjawab serta hasilnya tidak sama.
STRATEGI IMPLEMENTASI NILAI LUHUR PANCASILA
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi pola perilaku dan juga tata nilai
dalam semua sisi kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh yang ditimbulkan
terkadang positif dan juga terkadang negatif bagi dinamika kehidupan sosial
masyarakat Indonesia termasuk spirit religiusitas warga masyarakat. Pengaruh
ini bergantung pada masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan dan juga
mengendalikan diri dari semua dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut.
Penurunan
spirit religiusitas warga masyarakat dalam kehidupan beragama membawa dampak
negatif atas perjalanan bangsa Indonesia. Korelasi antara religiusitas
keberagaman agama dengan tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menunjukkan berbanding terbalik
dengan nilai-nilai Pancasila. Kehidupan religiusitas masyarakat ini semakin
memburuk dan jauh dari kualitas penghayatan Pancasila,apalagi dengan munculnya
konflik-konflik berdimensi agama yang masih sering terjadi di masyarakat. Warga
masyarakat lebih mengedepankan emosi dan ego kelompoknya dalam menyikapi segala
sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Semangat nasionalisme telah
luntur dari jiwa mereka. Jadilah ia sosok manusia yang tidak punya tanggungjawab
untuk kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kalau hal ini dibiarkan
terus secara jangka panjang maka akan
berdampak pada kehancuran bangsa Indonesia. Kondisi seperti ini mencerminkan implementasi
nilai-nilai Pancasila di masyarakat masih jauh panggang dari api, bahkan masih
sangat jauh.
Pemahaman
dan penghayatan masyarakat terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung di
Pancasila mutlak harus ditingkatkan agar warga masyarakat dapat menjadi warga
yang bertanggungjawab atas keberlangsungan dan terwujudnya hakekat pembangunan
nasional dan agar bangsa ini tidak semakin terperosok dalam suasana kehidupan
yang jauh dari nilai luhur Pancasila yang berakibat pada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu diperlukan semangat yang luar
biasa dari para generasi penerus perjuangan bangsa ini untuk terus dan terus
menggelorakan Pancasila agar semakin membumi dan menjiwai setiap aktifitas di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Dari
paparan tersebut dapat dipahami bahwa terjadinya pola tata kelakuan warga
masyarakat yang kecenderungan untuk menyimpang jauh dari nilai luhur Pancasila
disebabkan oleh adanya perubahan dinamika sosial masyarakat karena pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang pemanfaatannya tidak dibarengi dengan
aktualisasi nilai-nilai luhur ideologi bangsa yaitu Pancasila. Oleh karena
diperlukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan manusia Indonesia
Pancasialis sehingga ia menjadi sosok pribadi yang mampu berkarya dengan penuh
tanggungjawab.
Langkah
strategis implementatif untuk mewujudkan manusia Indonesia yang
bertanggungjawab dalam bingkai Pancasila
adalah dengan mengelola perubahan dinamika sosial masyarakat tersebut
melalui manajemen pengelolaan perubahan masyarakat. Prinsip dari pengelolaan
perubahan masyarakat ini adalah:
Pertama, agar
segenap lapisan masyarakat memperoleh pemahaman yang utuh dan berimbang secara
proporsional terhadap kandungan nilai-nilai luhur Pancasila. Pemahaman
masyarakat yang baik dan utuh ini dapat dilakukan dengan sosialisasi yang terus
menerus secara variatif kreatif dan tidak membosankan. Objek sasaran
sosialisasi ini adalah segenap anak bangsa yang merupakan aset bangsa
Indonesia, lintas segala profesi dan segala umur. Proporsional yang dimaksudkan
di sini adalah dalam melakukan kegiatan sosialisasi agar memperhatikan tingkat
kemampuan masyarakat dalam penyerapan materi. Kondisi akademik warga masyarakat
akan menentukan model pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam
sosialisasi dan juga menentukan tingkat kualitas bahan yang akan dijadikan
sebagai materi sosialisasi. Jadi, semua orang yang mengaku sebagai Warga Negara
Indonesia akan mendapatkan program sosialisasi yang dikemas secara apik agar
tepat sasaran dan bernilai guna maksimal.
Terdapat
beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam melakukan sosialisasi tentang
nilai-nilai luhur Pancasila, yaitu:
a) Aspek pemahaman. Pemahaman terhadap nilai-nilai luhur Pancasila
tidak hanya diperuntukkan bagi warga masyarakat strata sosial tertentu saja,
tetapi juga terhadap seluruh stakeholders yang ada. Para pemangku kepentingan
apapun yang ada di Indonesia juga harus mempunyai satu pemahaman yang baik
terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Perlu adanya pemahaman yang sama terhadap
penafsiran nilai-nilai yang terkandung di Pancasila. Terjadinya perbedaan
penafsiran yang tajam dalam memahami teks Pancasila kalau tidak dikelola dengan
baik justru akan kontra produktif dan berdampak negatif terhadap semangat
persatuan dan kesatuan bangsa.
b) Aspek kesadaran. Kesadaran diartikan
sebagai kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi. Hal ini
dimaksudkan bahwa masyarakat diharapkan mampu mengerti, memahami dan menelaah
terhadap berbagai peristiwa aktual yang sedang dan atau telah terjadi di
lingkungannya. Adanya kesadaran dari peserta sosialisasi diharapkan mereka
mampu menjawab problematika yang ada dengan mengaktualisasikan nilai-nilai
Pancasila. Nilai-nilai luhur Pancasila dijadikan referensi utama dalam menjawab
problematika kehidupan yang dihadapi masyarakat.
c) Aspek Komitmen. Komitmen
dipahami sebagai sebuah penerimaan yang kuat oleh individu terhadap tujuan dan
nilai-nilai yang diyakini bersama dalam organisasi (negara), di mana individu
akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan
di organisasi tersebut. Penerimaan yang kuat oleh warga masyarakat terhadap
nilai-nilai luhur Pancasila merupakan bentuk komitmen warga masyarakat untuk
tetap membesarkan bangsa Indonesia. Penerimaan ini kemudian diikuti dengan
upaya untuk membangun ke arah perubahan yang positif, sehingga penghayatan
pengamalan nilai luhur Pancasila akan menuju pada tingkat kualitas yang lebih
baik lagi seiring dengan perkembangan ruang dan waktu.
Kedua,
mengurangi resistensi dari masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Permasalahan yang sering muncul adalah penolakan atas perubahan itu sendiri. Meskipun perubahan ini merupakan perubahan
dari yang negatif ke arah positif, perlu dilakukan upaya antisipatif terhadap
resistensi masyarakat. Resistensi dapat dilakukan oleh individu pribadi warega
masyarakat dan juga oleh kelompok atau organisasi masyarakat tertentu. Penolakan atas
perubahan tidak selalu negatif karena adanya penolakan tersebut maka perubahan
tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Perubahan sosial masyarakat dari tata kelakuan yang negatif atau menyimpang
menuju tata kelakuan yang sesuai dengan
nilai-nilai luhur Pancasila akan dilakukan secara hati-hati terstruktur dan
terarah. Oleh karena itu proses atau tahapan-tahapan dalam menanamkan kembali
semangat nasionalisme Pancasialis harus dilakukan dengan strategi yang tepat
untuk menekan tingkat resistensi yang kemungkinan muncul.
Untuk menghadapi
resistensi yang kemungkinan muncul dalam melakukan usaha perbaikan atau
perubahan sosial masyarakat tersebut, maka strategi yang dapat dilakukan
diantaranya:
- Pendidikan dan komunikasi. Diperlukan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan tata nilai dari yang negatif ke tata nilai luhur Pancasila kepada semua pihak. Dalam melakukan diseminasi Pancasila ini harus diciptakan suasana yang komunikatif dengan semua pihak.
- Partisipasi dengan cara mengajak para pihak untuk mengambil keputusan.
- Memberikan kemudahan dan dukungan kepada warga masyarakat.
- Negosiasi. Hal ini apabila ternyata kelompok yang menentang mempunyai kekuatan yang kuat dan layak untuk dipertimbangkan.
- Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memelintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.
- Paksaan dengan hukuman atau sanksi bagi mereka yang menolak. Ini merupakan strategi pilihan terakhir.
Ketiga, meningkatkan partisipasi dari aparatur
pemerintah dan tokoh masyarakat dalam mewujudkan tata kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara yang baik dan penuh tanggungjawab dalam bingkai Pancasila. Partisipasi memiliki tiga gagasan
penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab. Keterlibatan diwujudkan dalam bentuk mental
dan juga emosional. Keteladanan dalam berperilaku dan bersikap yang dilakukan
oleh para aparatur negara dan tokoh masyarakat akan sangat penting dalam ikut
serta membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya
perubahan apapun yang terjadi di masyarakat merupakan hukum alam atau
sunnatullah. Semuanya telah terjadi dan ada di hadapan bangsa Indonesia saat ini.
Oleh karena itu perubahan tersebut harus dikelola dengan baik agar bangsa
Indonesia dapat berubah atau hijrah dari suasana kehidupan sosial masyarakat
yang negatif atau ada indikasi jauh dari nilai-nilai Pancasila menuju suasana
kehidupan yang dilingkupi oleh nilai-nilai luhur Pancasila sehingga akan
tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yaitu negara yang makmur
sejahtera lahir bathin yang selalu mendapatkan curahan kasih sayang dari Tuhan
Yang Maha Esa.
PENUTUP
Pancasila
sebagai ideologi bangsa mengandung nilai-nilai luhur yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai luhur Pancasila selaras dengan nilai-nilai ajaran agama, oleh
karena itu tidak tepat kalau munculnya resistensi terhadap Pancasila karena
berdasarkan ajaran agama tertentu.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang pemanfaatannya tidak dibarengi dengan
aktualisasi nilai-nilai Pancasila berdampak pada prilaku yang negatif dan
berpengaruh terhadap perubahan dinamika sosial masyarakat. Oleh karena
diperlukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan manusia Indonesia
Pancasialis sehingga ia menjadi sosok pribadi yang mampu berkarya dengan penuh
tanggungjawab.
Langkah
strategis implementatif untuk mewujudkan manusia Indonesia yang
bertanggungjawab dalam bingkai Pancasila
adalah dengan mengelola perubahan dinamika sosial masyarakat tersebut
melalui manajemen pengelolaan perubahan masyarakat.
Semarang,
21 November 2013
DR.H.ALI
IMRON,S.Ag.,M.Ag
DAFTAR PUSTAKA
A.Gunawan Setiardja, Dialektika
Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990
A.Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003
Ahmad Syafii Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante,
Jakarta: LP3ES, 1996
Alfian, Pancasila Sebagai
Ideologi Dalam Kehidupan
Politik, dalam buku Pancasila
Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7
Pusat, 1991
AMW Pranarka, Sejarah
Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1985
Deliar Noer, Partisipasi Dalam Pembangunan, Kuala Lumpur:
ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), 1977
Drijarkara, Drijarkara
Tentang Negara dan Bangsa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu,
Filsafat, Dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1981, halaman 14
Franz Magnis Suseno, Etika
Politik, Jakarta: Gramedia, 1988
HM.Amin Syukur, Pengantar
Studi Islam, Semarang: Bima Sejati, 2000
Ismail Suny, Jejak-Jejak Hukum Islam Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006
K.Bertens, Filsafat Barat
Dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981, halaman 21. Juga lihat H.L.A.Hart, Positivism and The Separation of Law and Moral,
dalam Law Review, 1958, Oxford University
Karl Mannheim, Ideologi Dan Utopia
Menyingkap Kaitan Pikiran Dan Politik,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Studi Tentang
Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan,
1997
M Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas
atau historisitas?, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999
M Sastrapratedja, Pancasila Sebagai
Ideologi dalam Kehidupan
Budaya, dalam buku Pancasila
Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991
Mubyarto, Ideologi Pancasila dalam Kehidupan
Ekonomi, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7
Pusat,1991
Muhammad Khalid Mas`ud, Islamic
Legal Philosify: a Study of Abu Ishaq al Shatibi`s Life and Thought,
diterjemahkan oleh Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan
Sosial, Surabaya: Al Ikhlas, 1995
Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta: Prapanca., t.th.
Muladi, Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1 Nomor 1,
April 2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah
Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984
P Hardono Hadi, Hakekat
Dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994
Padmo Wahjono, Masalah-Masalah
Aktual Ketatanegaraan, Jakarta: Yayasan Wisma Djokosutono, 1991
Pipit Seputra, Beberapa Aspek Dari Sejarah Indonesia, Ende: Arnoldus, 1973
Purnadi Purbacaraka cs, Ikhtisar
Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Falsafah Hukum, Jakarta: Rajawali
Press, 1991
Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Solly Lubis, dkk., Bunga
Rampai Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung: Eresco, 1995
Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD `45
Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003
Sunoto, Mengenal Filsafat
Pancasila, Yogyakarta: BP FE UII, 1981
Theo Huijbers OSC., Filsafat
Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982
[1]
DR.H.Ali Imron,S.Ag.,M.Ag adalah Lektor Kepala/dosen pada Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang. E-mail: imronmangkang@yahoo.com
[2]
Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia, Jakarta: Prapanca.,
t.th., halaman 437
[3] Ibid., halaman 448
[4]
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan
Dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996, halaman 144
[5]
Deliar Noer, Partisipasi Dalam Pembangunan,
Kuala Lumpur: ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), 1977, halaman 34 - 35
[6]
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: Bina Aksara,
1984, halaman 58
[7]
AMW Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1985,
halaman 313-318
[8]
Ibid.
[9]
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Yogyakarta: BP FE UII,
1981, halaman 39-40
[10]
P Hardono Hadi, Hakekat Dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1994, halaman 35
[11]
Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD `45 Dalam Paradigma Reformasi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, halaman 66
[12]
lihat Kumpulan Karangan Drijarkara, Drijarkara Tentang Negara dan Bangsa,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980, halaman 53
[13]
K.Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981,
halaman 21. Juga lihat H.L.A.Hart, Positivism and The Separation of Law and
Moral, dalam Law Review, 1958, Oxford University, halaman 71
[14]
Padmo Wahjono, Masalah-Masalah Aktual Ketatanegaraan, Jakarta: Yayasan
Wisma Djokosutono, 1991, halaman 25
[15]
Mubyarto, Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7
Pusat,1991, halaman 239
[16]
M Sastrapratedja, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya, dalam buku Pancasila
Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991, halaman 142 - 143
[17]
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1988, halaman 366
- 367
[18]
A.Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Yogyakarta: Kanisius,
1990, halaman 154
[19]
Solly Lubis, dkk., Bunga Rampai Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung: Eresco, 1995,
halaman 352
[20]
Muladi, Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia, dalam Jurnal Hukum
Progresif, Volume 1 Nomor 1, April 2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, halaman 41
[21]
Tidak ada pertentangan nilai luhur yang terkandung di Pancasila dengan syari`at (hukum) agama Islam. M.Natsir
dalam tulisannya yang berjudul “Bertentangankah Pancasila dengan al Qur`an” di
majalah Mingguan Hikmah tanggal 9 Mei 1954, menguraikan dengan rinci dan
membandingkan tiap sila Pancasila dengan ajaran al Quran. Kesimpulannya, mana mungkin
Pancasila bertentangan dengan al Qur`an. Baca Islam Di Negara Pancasila:
Menghadapi Tantangan Masa Depan di
dalam Ismail Suny, Jejak-Jejak Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, halaman 42-48
[22]
Franz Magnis Suseno, Etika... Ibid.
[23]
Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Politik, dalam buku
Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta:
BP-7 Pusat, 1991, halaman 192
[24]
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung:
Mizan, 1997, halaman 80
[25]
Karl Mannheim, Ideologi Dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran Dan
Politik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991, halaman 143-145
[26]
Kuntowijoyo, Identitas ... Op.Cit.,
halaman 82-83
[27]
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum,
Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2004, halaman 193
[28]
Purnadi Purbacaraka cs, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat
Sebagai Landasan Falsafah Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1991, halaman 45
[29]
M Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau historisitas?,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, halaman
293
[30]
Ibid.
[31]
Muhammad Khalid
Mas`ud, Islamic Legal Philosify: a Study of Abu Ishaq al Shatibi`s
Life and Thought, diterjemahkan oleh Yudian W Asmin, Filsafat Hukum
Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al Ikhlas,
1995, halaman 253
[32]
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005, halaman 1139
[33]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006,
halaman 67
[34]
HM.Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sejati, 2000,
halaman 10-11
[36]
Theo Huijbers OSC., Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Yogyakarta: Kanisius, 1982, halaman 150
[37]
A.Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika
Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, halaman 48
[38]
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, Dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu,
1981, halaman 14
[39]
A.Gunawan Setiardja, Dialektika ... Op.Cit., halaman 101-102
[40]
N.Driarkora, Percikan Filsafat, Jakarta:PT Pembangunan, 1981, halaman 19
[41]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006,
halaman 113 - 114
================================================,
Makalah dalam kegiatan Lokakarya empat pilar Pancasila, diselenggarakan kerjasama IAIN Walisongo dengan MPR RI, Kamis 21 November 2013 di Hotel Horison Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar