KONSEP NORMATIF HARMONISASI MUSLIM DENGAN NON
MUSLIM[1]
Oleh
DR.H.Ali Imron Hasan,S.Ag.,M.Ag[2]
1.
Ajaran syariat
Islam diklasifikasikan menjadi dua wilayah yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah
merupakan tata hubungan (interaksi) khalik dengan makhluk. Muamalah merupakan
tata hubungan (interaksi) makhluk dengan makhluk. Khalik adalah Dzat Pencipta
atau Tuhan Yang Maha Esa. Makhluk adalah semua hal yang diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, dan semua
isi alam semesta ini. Terdapat banyak bentuk ibadah dan juga bentuk atau model
muamalah.
2.
Allah swt
telah mempercayakan pengelolaan alam semesta ini kepada manusia sebagai
khalifatullah fil ardi. Hal ini terekam
di dalam Surat al-Baqarah (juz 1 surat ke 2) ayat 30. Khalifatullah fil ardi
dipahami sebagai makhluk yang menggantikan posisi Tuhan dalam konteks pengelolaan
alam semesta ini untuk kemaslahatan makhluk. Karena manusia telah mendapatkan
amanat dari Tuhan dalam pengelolaan alam semesta ini, maka ia akan
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kelak di akhirat.
3.
Terdapat
rambu-rambu yang tersusun dalam norma-norma syariat (hukum Islam yang tertuang secara
tekstual dalam nash yaitu kitab suci dan hadits nabi) dan fiqh (hukum Islam
hasil pemikiran atau penafsiran para ahli hukum Islam terhadap nash) tentang
tata hubungan ibadah dan muamalah.
4.
Tidak
dibenarkan bagi kaum muslim menjalin hubungan harmonis atau kerjasama dalam
konteks ibadah (atau uluhiyyah) seperti mengikuti ritual atau ceremonial atau
kegiatan keagamaan dalam bidang ibadah ajaran agama lain. Surat al-Kafirun (juz
30 surat ke 109) ayat 1-6, Allah berfirman yang artinya: “(1)Katakanlah Muhammad:
Wahai orang-orang kafir, (2)Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, (3)dan
kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, (4)dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, (5)dan kamu tidak pernah menjadi penyembah apa
yang aku sembah, (6)untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Kalimat menyembah
(dalam bahasa Arab: abada) dipahami sebagai segala bentuk kegiatan yang
mencerminkan penghambaan diri kepada Tuhan.
5.
Kaum muslim
wajib menjalin hubungan harmonis dengan non muslim dalam konteks hubungan
sosial kemasyarakatan (atau basyariah) dalam batasan wilayah muamalah. Surat
al-Mumtahanah (juz 28 surat ke 60) ayat 7-8-9, Allah swt berfirman yang
artinya: “(7)Mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih sayang diantara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu
musuhi diantara mereka. Allah Maha Kuasa dan Allah maha Pengampun dan Maha
Penyayang. (8)Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu
dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil. (9)Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai
kawanmu (yaitu) orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir
kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang
siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang dhalim”.
6.
Berbuat baik kepada tetangga
diperintahkan oleh Allah dalam satu paket dengan perintah untuk menyembah Allah
dan juga perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Ini berarti bahwa
kualitas perintah berbuat baik kepada tetangga sama dengan kualitas perintah
untuk menyembah kepada Allah. Oleh
karenanya apabila sesorang semata-mata hanya memenuhi perintah menyembah Allah
dan mengabaikan perintah untuk berbuat baik kepada tetangga, maka ibadah orang
tersebut tidak akan mendapatkan ridho dari Allah. Firman allah dalam al qur`an
surat an nisa (juz 5 surat ke 4) ayat
36, yang artinya: “(36) sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya
allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
7.
Ulama tafsir memberikan penjelasan.
Tetangga dekat (jari dzil qurba) dan tetangga jauh (jaril junub) dipahami
dengan melihat jarak rumah tetangga dengan rumah kita. Ada juga ulama tafsir
yang menafsirkan bahwa tetangga dekat merupakan orang yang seiman seagama,
sedangkan tetangga jauh adalah orang yang tidak seiman seagama. Pada prinsipnya
setiap muslim diperintahkan untuk berbuat baik atau ihsan kepada semua orang
tanpa membedakan strata sosial dan juga agama iman orang lain dalam konteks
hubungan muamalah.
8.
Rasulullah Muhammad saw telah
mengingatkan setiap muslim tentang arti pentingnya harmonisasi dengan sesama
makhluk Allah dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Hadits Rasulullah
diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda.
Demi Allah seseorang tidak beriman. Demi Allah seseorang tidak beriman. Demi Allah
seseorang tidak beriman. Beliau ditanya, siapa mereka itu yang tidak beriman ya
Rasulallah ? Rasulullah menjawab: orang
yang tidak beriman adalah orang yang karena perilakunya menyebabkan para
tetangganya tidak nyaman tidak merasa tenteram.
9.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abi Hamzah Anas bin Malik,
Rasulullah Muhammad saw dengan tegas menyatakan bahwa seseorang diantara kamu
tidak beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri. Imam Nawawi dalam kitab
Syarakh Arbain menjelaskan bahwa lafaz saudara (bahasa Arab: li akhihi) dalam
hadits tersebut mempunyai arti yang sangat umum, yaitu berlaku untuk semua orang, apapun agama
dan kepercayaannya, apapun ras suku bangsanya. Kata mencintai menyayangi dalam
hadits tersebut (bahasa Arab: al mahabbah), masih menurut Imam Nawawi,
merupakan perwujudan dari hubungan baik sesama manusia yang bersifat lintas
agama, lintas ras, lintas suku bangsa. Orang Islam mencintai menyayangi orang
non muslim harus diwujudkan dalam bentuk nyata, yaitu harus menginginkan agar
kebaikan dan kemanfaatan dapat dirasakan oleh orang non muslim tersebut.
10.
Berdasarkan
paparan tersebut di atas setiap muslim harus menjalin hubungan yang baik dalam
bidang muamalah dengan semua orang tanpa melihat status strata sosial, agama
suka bangsa ras. Adapun dalam bidang ubudiyyah (ritual keagamaan) setiap muslim
dilarang untuk menjalin tata hubungan atau kerjasama dengan komunitas non
muslim.
11.
Wallahu a`lam
bis sawab
12.
Selamat
berdiskusi
[1]
Disampaikan pada “Forum Diskusi Kerukunan Umat Beragama” di Gereja Santa Maria
Jln. Kanfer Raya 49 Semarang, Rabu 18 Desember 2013. Naskah dapat dibaca di:
imronmangkang.blogspot.com
[2] Pengurus
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Semarang, dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang, email: imronmangkang@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar