Selasa, 17 Desember 2013

hubungan baik muslim dengan non muslim : kajian normatif



KONSEP NORMATIF HARMONISASI MUSLIM DENGAN NON MUSLIM[1]
Oleh
DR.H.Ali Imron Hasan,S.Ag.,M.Ag[2]

1.       Ajaran syariat Islam diklasifikasikan menjadi dua wilayah yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan tata hubungan (interaksi) khalik dengan makhluk. Muamalah merupakan tata hubungan (interaksi) makhluk dengan makhluk. Khalik adalah Dzat Pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa. Makhluk adalah semua hal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, dan semua isi alam semesta ini. Terdapat banyak bentuk ibadah dan juga bentuk atau model muamalah.
2.       Allah swt telah mempercayakan pengelolaan alam semesta ini kepada manusia sebagai khalifatullah fil ardi.  Hal ini terekam di dalam Surat al-Baqarah (juz 1 surat ke 2) ayat 30. Khalifatullah fil ardi dipahami sebagai makhluk yang menggantikan posisi Tuhan dalam konteks pengelolaan alam semesta ini untuk kemaslahatan makhluk. Karena manusia telah mendapatkan amanat dari Tuhan dalam pengelolaan alam semesta ini, maka ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kelak di akhirat.
3.       Terdapat rambu-rambu yang tersusun dalam norma-norma syariat (hukum Islam yang tertuang secara tekstual dalam nash yaitu kitab suci dan hadits nabi) dan fiqh (hukum Islam hasil pemikiran atau penafsiran para ahli hukum Islam terhadap nash) tentang tata hubungan ibadah dan muamalah.
4.       Tidak dibenarkan bagi kaum muslim menjalin hubungan harmonis atau kerjasama dalam konteks ibadah (atau uluhiyyah) seperti mengikuti ritual atau ceremonial atau kegiatan keagamaan dalam bidang ibadah ajaran agama lain. Surat al-Kafirun (juz 30 surat ke 109) ayat 1-6, Allah berfirman yang artinya: “(1)Katakanlah Muhammad: Wahai orang-orang kafir, (2)Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, (3)dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, (4)dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5)dan kamu tidak pernah menjadi penyembah apa yang aku sembah, (6)untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Kalimat menyembah (dalam bahasa Arab: abada) dipahami sebagai segala bentuk kegiatan yang mencerminkan penghambaan diri kepada Tuhan.
5.       Kaum muslim wajib menjalin hubungan harmonis dengan non muslim dalam konteks hubungan sosial kemasyarakatan (atau basyariah) dalam batasan wilayah muamalah. Surat al-Mumtahanah (juz 28 surat ke 60) ayat 7-8-9, Allah swt berfirman yang artinya:  “(7)Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang diantara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi diantara mereka. Allah Maha Kuasa dan Allah maha Pengampun dan Maha Penyayang. (8)Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (9)Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu (yaitu) orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang dhalim”.
6.       Berbuat baik kepada tetangga diperintahkan oleh Allah dalam satu paket dengan perintah untuk menyembah Allah dan juga perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Ini berarti bahwa kualitas perintah berbuat baik kepada tetangga sama dengan kualitas perintah untuk menyembah kepada Allah.  Oleh karenanya apabila sesorang semata-mata hanya memenuhi perintah menyembah Allah dan mengabaikan perintah untuk berbuat baik kepada tetangga, maka ibadah orang tersebut tidak akan mendapatkan ridho dari Allah. Firman allah dalam al qur`an surat  an nisa (juz 5 surat ke 4) ayat 36, yang artinya: “(36) sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatupun.  Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
7.       Ulama tafsir memberikan penjelasan. Tetangga dekat (jari dzil qurba) dan tetangga jauh (jaril junub) dipahami dengan melihat jarak rumah tetangga dengan rumah kita. Ada juga ulama tafsir yang menafsirkan bahwa tetangga dekat merupakan orang yang seiman seagama, sedangkan tetangga jauh adalah orang yang tidak seiman seagama. Pada prinsipnya setiap muslim diperintahkan untuk berbuat baik atau ihsan kepada semua orang tanpa membedakan strata sosial dan juga agama iman orang lain dalam konteks hubungan muamalah.
8.       Rasulullah Muhammad saw telah mengingatkan setiap muslim tentang arti pentingnya harmonisasi dengan sesama makhluk Allah dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Hadits Rasulullah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda. Demi Allah seseorang tidak beriman. Demi Allah seseorang tidak beriman. Demi Allah seseorang tidak beriman. Beliau ditanya, siapa mereka itu yang tidak beriman ya Rasulallah ?  Rasulullah menjawab: orang yang tidak beriman adalah orang yang karena perilakunya menyebabkan para tetangganya tidak nyaman tidak merasa tenteram.
9.       Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abi Hamzah Anas bin Malik, Rasulullah Muhammad saw dengan tegas menyatakan bahwa seseorang diantara kamu tidak beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.    Imam Nawawi dalam kitab Syarakh Arbain menjelaskan bahwa lafaz saudara (bahasa Arab: li akhihi) dalam hadits tersebut mempunyai arti yang sangat umum,  yaitu berlaku untuk semua orang, apapun agama dan kepercayaannya, apapun ras suku bangsanya. Kata mencintai menyayangi dalam hadits tersebut (bahasa Arab: al mahabbah), masih menurut Imam Nawawi, merupakan perwujudan dari hubungan baik sesama manusia yang bersifat lintas agama, lintas ras, lintas suku bangsa. Orang Islam mencintai menyayangi orang non muslim harus diwujudkan dalam bentuk nyata, yaitu harus menginginkan agar kebaikan dan kemanfaatan dapat dirasakan oleh orang non muslim tersebut.
10.   Berdasarkan paparan tersebut di atas setiap muslim harus menjalin hubungan yang baik dalam bidang muamalah dengan semua orang tanpa melihat status strata sosial, agama suka bangsa ras. Adapun dalam bidang ubudiyyah (ritual keagamaan) setiap muslim dilarang untuk menjalin tata hubungan atau kerjasama dengan komunitas non muslim.
11.   Wallahu a`lam bis sawab
12.   Selamat berdiskusi




[1] Disampaikan pada “Forum Diskusi Kerukunan Umat Beragama” di Gereja Santa Maria Jln. Kanfer Raya 49 Semarang, Rabu 18 Desember 2013. Naskah dapat dibaca di: imronmangkang.blogspot.com
[2] Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Semarang, dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, email: imronmangkang@yahoo.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar