PENGUATAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
MELALUI BINGKAI REGULASI DI INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara
dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan memiliki berbagai ragam aliran
kepercayaan dan keyakinan agama. Munculnya berbagai aliran kepercayaan dan
keyakinan agama ini di satu sisi merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
dan di sisi yang lain merupakan potensi munculnya disharmoni bahkan konflik di
kalangan penganut aliran ajaran agama. Potensi munculnya disharmoni ini harus
diantisipasi agar kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dapat berjalan
dengan baik dalam mengisi pembangunan nasional.
Pada awalnya kerukunan
hidup antar maupun intern-umat beragama secara umum relatif baik dan
mencerminkan kehidupan umat beragama yang guyub rukun. Bangsa Indonesia sering
dijadikan barometer bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang kemajemukan
beragama yang toleran dan hidup dalam perdamaian. Secara umum watak
keberagamaan cenderung moderat, sehingga hubungan antar pemeluk agama lebih
lentur dan mencair. Kebudayaan
masyarakat yang bercorak majemuk atau Bhineka Tunggal Ika menjadi fondasi sosial dalam kerukunan dan
kedamaian.
Dalam perkembangannya, sering
terjadi ketegangan hubungan antar pemeluk agama hingga konflik fisik di berbagai
wilayah Indonesia bahkan tidak jarang berbuntut pada penghilangan nyawa. Pada
masa Orde Baru sering terjadi letupan-letupan konflik intern dan antar umat
beragama. Peran negara atau pemerintah dalam mengatur relasi kehidupan intern
dan antar umat beragama sangat dominan. Melalui kebijakan pemerintah pada waktu
itu berbagai peristiwa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) mudah
diredam, dikendalikan, dan diselesaikan secara top-down.
Di era Reformasi
sekarang ini, peran dominasi pemerintah berkurang dan proses keterbukaan
demikian kuat. Konflik-konflik terbuka yang melibatkan umat beragama banyak muncul.
Peristiwa yang paling tragis ialah konflik yang terjadi di Poso, Ambon, Sambas,
Sampit dan titik-titik konflik lain di sejumlah daerah.
Peristiwa yang terjadi
tersebut tidaklah murni konflik keagamaan, tetapi tidak menutup kemungkinan
juga ada beberapa faktor penyebab lain. Meskipun demikian, berbagai konflik
tersebut harus berhenti di sini dan jangan sampai terulang kembali dan merembet
ke daerah-daerah lain. Jika sampai berulang dan menjalar maka kerugian dan
kehancuran yang akan menimpa bangsa ini. Kehidupan umat beragama di Indonesia dan
nilai luhur agama tentu tercoreng. Karena itu, seluruh pihak termasuk
pemerintah, kekuatan-kekuatan politik, dan lebih khusus semua kelompok atau
golongan agama harus mengambil hikmah sekaligus langkah-langkah tegas.
Disinilah pentingnya
kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang komprehensif untuk mendorong
semakin kuatnya budaya kerukunan dan perdamaian, sekaligus meminimalisir
berbagai faktor pemicu konflik. Pemerintah memang tidak bisa terlalu jauh masuk
dan mengendalikan totalitas terhadap hubungan antar atau intern umat beragama,
tetapi juga tidak boleh melakukan pembiaran dan acuh tak acuh. Seluruh golongan
masyarakat, lebih khusus umat serta tokoh beragama, harus terus mengambil
prakarsa agar terjadi relasi umat beragama yang semakin dewasa, rukun, dan
damai. Kalaupun sesekali terjadi konflik, tidak berskala besar dan meluas,
serta mampu diredam dan dipecahkan dengan resolusi konflik yang cepat dan
elegan.
Agar tindakan yang
diambil oleh pemerintah dan stakeholders dalam penguatan kerukunan umat
beragama di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan tata nilai norma-norma hukum
yang berlaku di Indonesia maka perlu adanya regulasi berupa undang-undang yang
mengatur tentang kerukunan umat beragama yang dapat dijadikan sebagai pedoman
bersama.
Tulisan ini bermaksud
menguraikan lebih lanjut tentang tri kerukunan
umat beragama di Indonesia, peran pemerintah dalam kerukunan beragama, dan
urgensi regulasi kerukunan umat beragama di Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
A. Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas
banyak etnis, budaya, suku dan agama membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya
masyarakat yang damai dan rukun. Tri kerukunan umat beragama merupakan konsep
yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan kehidupan
masyarakat antar umat beragama yang rukun. Adanya perbedaan pandangan dalam
keyakinan agama sangat berisiko pada kecenderungan konflik di masyarakat
apabila perbedaan tersebut tidak dikelola dengan baik. Disinilah arti
pentingnya pengelolaan perbedaan tersebut agar menjadi sebuah potensi positif
dalam mengisi pembangunan nasional.
Perbedaan jangan sampai menjadi potensi negatif yang berakibat pada
kecenderungan untuk konflik yang dibalut dengan berbagai kepentingan.
Proses perjalanan kehidupan umat manusia dalam
kurun waktu yang sangat lama di muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas tentunya
akan menciptakan keberagaman suku dan etnis. Bersamaan dengan itu maka lahir
pula banyak kepercayaan dan agama yang
berkembang di setiap suku-suku di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa
munculnya perbedaan atau kebhinekaan nusantara tidaklah diciptakan dalam waktu
yang sesaat saja.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menyadari
resistensi konflik antar umat beragama. Berbagai kebijakan pemerintah telah
diterbitkan untuk mengendalikan keadaan tata hubungan pemeluk agama dan
kepercayaan. Berbagai rambu peraturan telah disahkan untuk meminimalisir
bentrokan-bentrokan kepentingan antar umat beragama.
Berbagai aturan kerukunan hidup antar umat
beragama di Indonesia yang telah dikeluarkan oleh pemerintah secara garis besar
mencakup beberapa hal, diantaranya yaitu: 1)Pendirian rumah ibadah; 2)Penyiaran
agama; 3)Bantuan keagamaan dari luar negeri; dan 4)Tenaga asing bidang
keagamaan. Kebijakan pemerintah atau regulasi tentang aturan kerukunan antar
umat beragama ini penting dikeluarkan agar tata kelola dan tata hubungan
diantara umat beragama mempunyai standart yang baku dan jelas.
Regulasi tersebut merupakan ketentuan yang
mengatur tata hubungan dan juga tata administrasi di luar subtansi ajaran
agama. Pemerintah berkepentingan agar berbagai macam program kegiatan dan juga
pelaksanaan ajaran agama yang dilakukan oleh pemeluk agama tidak terjadi
gesekan diantara mereka yang berakibat pada munculnya pertikaiaan sesama warga
masyarakat. Apabila pertikaian atau konflik ini terus dibiarkan dan tidak
dikelola dengan benar maka berakibat pada disintegrasi bangsa. Disinilah arti
penting perlunya regulasi tentang tata hubungan kerukunan umat beragama.
Tujuan konsep tri kerukunan umat beragama agar
masyarakat Indonesia dapat hidup kebersamaan dalam perbedaan. Konsep ini dirumuskan
dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak
manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya.
Tri kerukunan ini meliputi tiga konsep
kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama,
dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.
Pertama, kerukunan intern umat beragama. Perbedaan
pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama
itu sendiri. Perbedaan mazhab hukum atau fiqh adalah salah satu contoh
perbedaan yang nampak dan nyata. Kemudian lahir pula perbedaan ormas keagamaan.
Walaupun ormas-ormas keagamaan tersebut memiliki satu aqidah yakni aqidah Islam,
adanya perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian, pendekatan terhadap al
quran dan sunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat beragama.
Konsep ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu
sarana agar tidak terjadi ketegangan intern umat Islam yang menyebabkan
konflik. Konsep ukhuwah Islamiyah ini mengupayakan berbagai cara agar tiap-tiap kelompok ormas tidak
saling klaim kebenaran. Agar tiap-tiap individu sesama penganut agama Islam
tidak saling klaim kebenaran keyakinan. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari
permusuhan karena perbedaan mazhab dalam Islam. Semuanya untuk menciptakan
kehidupan beragama yang tenteram, rukun, dan penuh kebersamaan. Kalau dalam
agama Islam mengenal ukhuwah islamiyah maka dalam agama-agama yang lain dapat
menempuh upaya yang sejenis seperti konsep persaudaraan seiman.
Kedua, kerukunan antar umat beragama. Konsep
kedua ini mempunyai pengertian kehidupan beragama yang tentram antar masyarakat
yang berbeda agama dan beda keyakinan. Tidak terjadi sikap saling curiga
mencurigai dan selalu menghormati agama masing-masing.
Konsep yang dibangun dalam mewujudkan kerukunan
antar umat beragama ini adalah konsep ukhuwah basyariyah atau persaudaraan
sesama umat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Imam Ghozali Hujjatul
Islam dalam bukunya Syarah Arbain Nawawi dengan berani menafsirkan kata ukhuwah
dengan pengertian yang sangat luas yaitu persaudaraan lintas agama dan juga
lintas ras suku bangsa. Hadits Nabi Muhammad yang berbunyi la yukminu
ahadukum hatta yuhibba li akhihi ma yuhibbu li nafsih (keimanan seseorang
tidak akan mencapai derajat keimanan yang sempurna apabila ia tidak mampu
mencintai sudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri). Saudara yang
dimaksud dalam statemen tersebut, dimaknai oleh Imam Ghozali sebagai saudara
sesama anak Adam yaitu seluruh umat manusia. Jadi seorang muslim yang tidak
mampu mengasihi menyayangi non muslim sebagaimana ia mengasihi menyayangi
dirinya sendiri maka keimanan muslim tersebut tidak akan sempurna. Konsep
persaudaraan sesama umat manusia ini juga harus dilakukan oleh non muslim agar
kerukunan dan persaudaraan antar umat beragama dapat semakin harmonis.
Pemerintah mengeluarkan berbagai aturan tentang
tata hubungan antar masyarakat yang berbeda agama atau beda keyakinan. Berbagai
kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah agar tidak terjadi saling mengganggu antar
umat beragama, dan semaksimal mungkin
menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat bersama-sama
menciptakan suasana hidup yang rukun dan damai di Indonesia. Regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah lebih bersifat pengaturan administratif dan tidak
memasuki wilayah ajaran agama. Regulasi ini penting dilakukan agar tidak
terjadi gesekan kepentingan atau minimal ada aturan baku yang dijadikan
standart yang dijadikan pedoman bersama dalam tata hubungan pemeluk antar
agama.
Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus
mencerminkan keadilan diantara para pemeluk agama, juga harus mencerminkan
kepastian hukum agar tidak menimbulkan multi tafsir atas aturan yang telah
dibuatnya. Tidak ada yang subordinasi atau tirani. Kepentingan berbagai pemeluk
agama harus diakomodir dalam regulasi tersebut. Pelibatan para tokoh pemeluk
agama dalam penyusunan regulasi dan juga penegakan hukum mempunyai peran yang
sangat vital. Regulasi tentang tata hubungan lintas agama ini harus merupakan
kesepakatan dan kesepahaman para pemeluk agama yang diwakili oleh tokoh-tokoh
agama dan juga pemimpin ormas keagamaan. Tidak ada yang memaksakan kehendaknya
demi kepentingan kelompok agama tertentu. Semangatnya adalah sama yaitu
menciptakan adanya kehidupan berdampingan yang harmonis sinergis dan tidak ada
yang merasa dirugikan kepentingannya.
Ketiga, kerukunan antar umat beragama dengan
pemerintah. Pemerintah ikut andil dalam menciptakan suasana tentram, termasuk
kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah sendiri. Semua umat beragama
yang diwakili oleh pemuka agama dari tiap-tiap agama dapat sinergis dengan
pemerintah. Bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah untuk menciptakan
stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.
Tri kerukunan umat beragama yang ketiga ini merupakan
bentuk fasilitasi pemerintah terhadap berbagai program kegiatan yang menunjang
kerukunan umat beragama. Pemerintah harus memberikan dukungan pembiayaan yang
memadai untuk terselenggaranya kegiatan-kegiatan atau aksi-aksi sosial yang
mendukung terciptanya dan terpeliharanya kerukunan umat beragama. Pejabat
pemerintah harus mau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan
tokoh-tokoh agama dan juga pimpinan ormas keagamaan. Jalinan komunikasi yang
sinergis harus terus dilakukan di antara pemerintah dengan tokoh agama dan juga
pimpinan ormas keagamaan.
Tri kerukunan umat beragama diharapkan menjadi
salah satu solusi agar terciptanya kehidupan umat beragama yang damai, penuh
kebersamaan, bersikap toleran, saling menghormati dan menghargai dalam
perbedaan. Komitmen dari para pihak dan juga stakeholders sangat menentukan
pelaksanaan Tri kerukunan umat beragama ini.
B. Peran Pemerintah Dalam Kerukunan Beragama
Kerukunan umat beragama mutlak sangat diperlukan, agar warga masyarakat
dapat menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia ini dengan
damai dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa yang dengan penuh kedamaian ini menjadi kunci untuk
ikut serta dalam melaksanakan program kegiatan sosial kemanusiaan yang
dilakukan dengan kerja sama antar agama.
Program kegiatan tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal,
jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan dengan baik. Meskipun
setiap agama telah mengajarkan tentang pentingnya kedamaian dan keharmonisan,
realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan
dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini mempunyai dampak yang amat
mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga
berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula.
Pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau
yang dikenal dengan istilah konflik antar umat agama tetapi konflik juga sering
terjadi antara umat dalam satu agama atau konflik intern umat agama. Munculnya
berbagai konflik terkait dengan persoalan keagamaan disebabkan oleh beberapa
hal diantaranya adalah: Pertama, pelecehan atau penodaan agama melalui
penggunaan simbol-simbol agama, maupun istilah-istilah keagamaan dari suatu
agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Kedua, fanatisme agama
yang sempit.
Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang sendiri serta
mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara ritual ibadah
dan paham agama yang berbeda. Dan yang ketiga adalah adanya diskomunikasi dan
miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi karena adanya
miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan yang disengaja).
Bangsa Indonesia beratus-ratus tahun dijajah Belanda dan juga Jepang,
berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu-membahu para pejuang
dan para pendiri bangsa yang berbeda agama. Penghapusan satu kalimat di Piagam
Jakarta dan kata-kata “Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya”
merupakan bentuk kompromi politik untuk menjamin agar tidak ada superioritas
antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya kerukunan umat beragama
di Indonesia. Pancasila dan kalimat Bhinneka Tunggal Ika memberikan pedoman
tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa lalu,
masa kini, dan masa yang akan datang.
Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari
kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya
mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama
umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan
dialog intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dan
pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam maupun agama lain. Oleh
karena itu pelibatan mereka dalam penyusunan regulasi kerukunan umat beragama
dan juga penegakan hukum sangat penting. Penyusunan regulasi kerukunan umat
beragama oleh Pemerintah dengan tidak melibatkan para pemuka tokoh agama akan
melahirkan regulasi yang hampa dan tidak bermakna. Regulasi yang dilahirkan
akan bekerja bagaikan robot mekanik yang tidak mempunyai jiwa kemanusiaan.
Penegakan hukum yang dilakukan juga dirancang dengan pendekatan kemanusiaan.
Pemerintah melalui Kementerian Agama dan juga Kementerian Dalam Negeri menduduki
posisi yang penting dan sangat menentukan dalam sosialisasi atau diseminasi
regulasi kerukunan umat beragama ini. Kementerian ini dengan mengikutsertakan
stakeholders harus terus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah
kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar.
Kebijakan pemerintah yang mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama
sudah banyak, misalnya mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan
penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antar agama
dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah
antarumat beragama.
Menteri Agama Mukti Ali pernah memperkenalkan pentingnya dialog antar agama
dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai
perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader
dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan
pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan
demi masa depan Indonesia. Upaya ini juga dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah
Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya trilogi kerukunan umat
beragama.
Komunikasi antar umat beragama yang sinergis harus didorong dan diberikan
motivasi oleh pemerintah. Pemetrintah harus mengupayakan penyediaan fasilitas
untuk mendukung itu. kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down,
elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Akan tetapi, para
pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam
level akar rumput dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan
persatuan bangsa.
Pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan
kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang
diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan penyuluh agama untuk
penanganan daerah berpotensi konflik, dan sosialisasi manajemen kelembagaan
agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan kedudukan kerukunan umat
beragama dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa untuk suksesnya pembangunan
nasional. Hal ini penting karena hakekat pembangunan nasional adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah dapat terus memupuk
keharmonisan hubungan antar pemeluk agama melalui kelembagaan yang dikelola
oleh negara maupun kelembagaan yang dikelola oleh berbagai agama yang ada di
Indonesia, baik kelembagaan yang bersifat formal maupun non formal.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk pemerintah pada setiap
provinsi, kabupaten, dan kota perlu dioptimalkan peran fungsinya dalam memupuk
persaudaraan bangsa. Kegiatan FKUB jangan hanya terjebak dalam kegiatan
birokrasi administrasi pemberian rekomendasi pendirian tempat ibadah. Karena
dalam kenyataannya, badan ini menjelma hanya menjadi pengawas berdirinya rumah
ibadah. Pemerintah dapat berperan dengan terus memacu dan juga memfasilitasi
FKUB dalam melakukan dialog-dialog keagamaan. Dialog-dialog yang dilakukan oleh
FKUB hendaknya tidak hanya merupakan dialog ‘mulut’ semata, tetapi juga harus
diwujudkan dengan dialog karya nyata yang manfaatnya bisa dirasakan oleh
komunitas masyarakat secara langsung. FKUB dapat melakukan kegiatan bakti
sosial bersama-sama lintas agama dengan dukungan fasilitasi penuh dari
pemerintah.
Pengalaman nyata di lapangan, penulis menemukan beberapa problematika
kendala ketika FKUB Kota Semarang akan merealisasikan program dialog karya di
lapangan. Problematika tersebut diantaranya 1)tingkat partisipasi stakeholders
yang rendah, 2)dukungan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah sangat minim,
3)ada kecenderungan justru kegiatan ini menjadi ‘unjuk gigi’ dari kelompok
agama tertentu, sehingga terkesan mereka yang aktif bekerja, sementara penganut
agama yang lain pasif.
Pemerintahan harus terus memperhatikan problem relasi antaragama.
Pemerintah harus mewujudkan kerukunan yang sesungguhnya, serta mengantisipasi
pelbagai macam dampak negatif dari konflik antar agama. Segala motif dan
indikasi yang bisa menyulut konflik harus diantisipasi sedini dan sebaik
mungkin. Pemerintah perlu juga melakukan pendataan yang serius dan komprehensif
tentang peta, analisis, keberhasilan, serta evaluasi kegagalan program
kerukunan umat beragama ini.
Pemerintah harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai
komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan-perjumpaan yang
bersifat formal, sebagaimana yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka
menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan persoalan keagaaman secara khusus
Pemerintah memfasilitasi pertemuan antaragama dan mendorong terwujudnya relasi
yang rukun, adil, dan setara.
Pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Akar
konflik dan ketegangan antar dan juga intern agama muncul di antaranya juga
disebabkan oleh ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi di kalangan agamawan.
Terjadinya ‘rebutan’ anggota jamaah merupakan fenomena yang menarik. Anggota
jamaah kelompok aliran agama tertentu merupakan sumber pembiayaan atau juga
mungkin sebagai sumber penghasilan bagi tokoh atau pemimpin agama tertentu.
Ketika kuantitas pengikut atau jamaahnya terganggu maka secara tidak langsung
juga mengganggu income material dan secara tidak langsung juga berpengaruh
terhadap kenyamaan dan kerukunan. Hal ini berpotensi konflik di antara tokoh
agama dan juga akan menjalar ke pengikut ajaran agama.
Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang
berorientasi kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya. Program
peningkatan kesejahteraan bagi agamawan juga mutlak harus diperhatikan. Sebagai
manusia, agamawan juga membutuhkan fasilitas untuk mendukung kegiatan misi
agamanya. Tempat ibadah dan sarana peribadatan yang representatif, fasilitas
kegiatan sosial keagamaan yang memadai, keadaan ekonomi agamawan yang mapan dan
dukungan fasilitasi pemerintah terhadap berbagai kegiatan keagamaan akan sangat
berpengaruh terhadap peningkatan kerukunan hidup umat beragama.
C. Urgensi Regulasi Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia
Konstitusi negara Indonesia memberikan jaminan kemerdekaan kepada
setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah berdasarkan ajaran agama
dan kepercayaannya. Hal ini tertuang di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Pasal 29 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini merupakan
bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia.
Ketentuan pasal 29 tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan
penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas dasar satu agama saja,
tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama yang berkembang di
Indonesia. Konsepsi satu untuk semua merupakan kesepakatan bersama para pendiri
bangsa dengan melihat realitas kemajemukan bangsa.
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS) tahun 2000, disebutkan bahwa sasaran pembangunan bidang
agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis
antar umat beragama, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual,
moral, dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana
kehidupan harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras
dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Berdasarkan program pembangunan nasional tersebut nampak jelas
bahwa suasana kehidupan yang harmonis penuh kerukunan yang dinamis antar umat
beragama merupakan suatu hal yang niscaya untuk mewujudkan pembangunan nasional
yang berkesinambungan. Di sini nampak jelas bahwa kerukunan atau keharmonisan
harus diwujudkan dan terus dilestarikan untuk kepentingan kesejahteraan lahir
bathin bangsa Indonesia.
Dewasa ini kembali marak kasus-kasus yang bersinggungan dengan
agama, seperti pendirian tempat ibadah atau penyiaran agama yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, atau karena adanya salah paham diantara pemeluk
agama. Padahal kerukunan antar umat beragama merupakan hal pokok yang harus
dijaga karena kerukunan antar umat beragama merupakan dasar dari kerukunan
nasional. Melalui kerukunan nasional maka akan tercipta persatuan
Indonesia.
Upaya-upaya penguatan kerukunan dan pencegahan konflik telah banyak
dilakukan, baik melalui: 1) bingkai teologis, 2) bingkai sosiologis
(sosio-kultural) dalam bentuk kearifan lokal, 3) bingkai politik (kebangsaan)
dalam bentuk penguatan empat pilar kebangsaan, dan 4) bingkai yuridis dalam
bentuk regulasi tentang kerukunan umat beragama. Penguatan kerukunan melalui
bingkai politik kebangsaan saat ini sangat diperlukan, karena di era reformasi,
yang mendukung demokrasi dan kebebasan ini, muncul paham-paham atau
ideologi-ideologi tertentu, yang diantaranya bertentangan dengan ideologi
Pancasila dan tidak toleran dengan kemajemukan masyarakat Indonesia.
Pendidikan nilai-nilai pancasila harus menjadi gerakan nasional. Pendidikan
nilai harus dijadikan gerakan aksi seluruh rakyat Indonesia dari sekedar
ideologis-teoritis dengan berupaya bagaimana agar negara beraksi untuk
mewujudkan nilai-nilai kebangsaan. Bangsa Indonesia memiliki satu payung
paradigma yang paling holistik dan universal dalam kerukunan antar umat
beragama, yaitu Pancasila. Persatuan Indonesia hanya dapat dikembangkan melalui
multikulturalisme dan musyawarah dengan seluruh elemen bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia
mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama.
Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Perber tersebut merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak unsur
agama yang ada di Indonesia. Namun demikian, masalah pembangunan rumah ibadah
menjadi batu sandungan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sayangnya, Perber tersebut kurang tersosialisasi di tengah masyarakat, sehingga
tidak banyak dijadikan pijakan dalam menjalin kerukunan beragama dan pendirian
rumah ibadah.
Menyikapi berbagai kasus kerukunan umat beragama yang terjadi,
mengakibatkan peraturan bersama dua menteri tersebut banyak mendapat sorotan.
Ada pihak- pihak yang mengusulkan agar peraturan tersebut dipertahankan,
direvisi, bahkan dicabut, karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus-kasus
yang memecah kerukunan umat beragama.
Ada juga yang menginginkan agar dibuat undang-undang tentang
kerukunan umat beragama untuk mengatur kehidupan beragama, dan sekaligus untuk
meredam konflik horisontal yang selama ini dipicu oleh ketentuan yang termaktub
di dalam beberapa pasal peraturan bersama tersebut. Di samping itu, kalau
menjadi undang-undang diharapkan akan menjamin kebebasan umat beragama dalam
menjalankan ibadah.
Pendirian rumah ibadah umat minoritas di tempat warga yang
mayoritas, memang bisa menimbulkan banyak masalah, karena menyangkut sentimen
dan fanatisme keagamaan yang mendalam. Karena itu, supaya tidak terjadi konflik
sosial, pendirian rumah ibadah perlu diatur dengan mempertimbangkan aspek
keadilan dan proporsional.
Melihat kompleksitas masalah antarumat beragama di Indonesia, tentu
dibutuhkan payung hukum yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang tentang
kerukunan umat beragama. Di dalam undang-undang tersebut bisa dimasukkan
beberapa prinsip yang telah termuat di dalam peraturan bersama dua menteri
dengan berbagai penyempurnaan dan penambahan, guna lebih memberi jaminan hukum
yang lebih kuat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama.
Selain itu, di dalam undang-undang tersebut juga bisa dibuat
ketentuan tentang keharusan memasukkan materi kerukunan umat beragama dalam
kurikulum pendidikan, dan pengaturan sanksi yang tegas atas pelanggaran dan
penodaan terhadap kerukunan umat beragama.
Peraturan tentang kerukunan umat beragama ini apabila diatur dalam
keputusan menteri atau surat edaran maka kekuatan hukumnya sangat lemah. Upaya
penegakan hukumnya juga akan menghadapi permasalahan terutama dalam teknis
yusticial. Hal ini tidak akan terjadi kalau produk peraturan tersebut berbentuk
undang-undang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Undang-undang tentang kerukunan umat beragama harus bisa mengayomi
dan menetramkan semua pemeluk agama dan aliran kepercayaan dengan segala
kepentingannya. Undang-undang ini diupayakan agar mampu mengakomodir
kepentingan umat beragama dalam upaya mengamalkan ajaran agamanya dan aktifitas
kegiatan keagamaan secara adil dan proporsional tanpa menimbulkan konflik
dengan pihak lain.
Memang sangat berat harapan masyarakat terhadap subtansi
undang-undang tentang kerukunan umat beragama ini, tetapi adanya peraturan
perundangan yang dibingkai dengan kerukunan umat beragama berbentuk
undang-undang merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi di
Indonesia, mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar dengan
berbagai macam agama dan juga aliran kepercayaan.
III.
PENUTUP
A. Simpulan
Tri kerukunan umat beragama yang digulirkan oleh pemerintah meliputi
tiga konsep kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar
umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah. Tujuan konsep
tri kerukunan umat beragama ini agar masyarakat Indonesia dapat hidup kebersamaan dalam perbedaan.
Pemerintah harus
memberikan dukungan fasilitasi pembiayaan terhadap berbagai program kegiatan
yang mengarah pada pemeliharaan kerukunan umat beragama. Fasilitasi pemerintah
ini diberikan kepada lembaga-lembaga keagamaan yang ada secara proporsional dan
berimbang.
Payung hukum yang mengatur tentang tata hubungan antar dan intern
umat beragama untuk mendukung kerukunan beragama sangat penting. Di dalam
payung hukum tersebut bisa dimasukkan beberapa prinsip yang terdapat di dalam berbagai
peraturan yang telah ada sebelumnya dengan memperhatikan perkembangan dinamika
masyarakat yang terjadi selama ini.
## Makalah
didiskusikan dalam forum diskusi lintas agama kota Semarang: Paguyuban PETAMAS –
FKUB